Kau tidak akan dapat memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya." (Harper Lee dalam Buku To Kill a Mockingbird).
Apa yang ada di pikiran kamu tentang Belanda ketika mendengar kata “Kolonial Belanda”? Penjajah? Kejam? Tak berperikemanusiaan? Oke, itu hal yang wajar karena Indonesia dulu pernah dijajah, lalu hidup dalam kesengsaraan di bawah pemerintah Belanda. Sejarah panjang, serta reruntuhan bangunan tua telah menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Indonesia ketika memperjuangkan hak untuk merdeka.
Lalu, pernahkah kita berpikir apa yang ada di pikiran orang Belanda maupun para veteran Belanda tentang “Kolonial Belanda”? Bukan berarti mereka pernah menjadi bangsa yang menjajah Indonesia lalu kita tak perlu mendengar apa kata mereka. Kita sama – sama manusia. Punya hati dan perasaan.
Kalau kita hanya mau mendengar apa kata kita tanpa mendengar apa kata mereka, perlukah kita kembali bertanya kepada diri sendiri, apakah kita masih punya hati? Silakan simpan dulu jawaban dari pertanyaan tersebut di dalam hati. Sebelumnya, izinkan saya untuk menceritakan sesuatu dari sudut lubuk hati yang paling dalam mengenai dua negara yang terhubung oleh sejarah di masa lalu, Indonesia-Belanda.
Diskusi dengan Ms. Marjolein
Pada hari jumat tanggal 17 Maret 2017, saya bersyukur memiliki kesempatan emas karena diundang untuk menghadiri acara diskusi bersama salah satu blogger Surabaya (Cak Boni), Penulis Buku Surabaya Punya Cerita (Cak Ipung) dan Jurnalis asal Rotterdam, Belanda yang memiliki platform Histori Bersama (www.historibersama.com) untuk mengupas sejarah panjang Indonesia-Belanda dari dua sisi (Ms. Marjolein Van Pagee). Saya datang dengan pikiran positif, untuk sekedar ingin tahu bagaimana dan mengapa Ms. Marjolein jauh – jauh datang dari Belanda ke Surabaya hanya untuk mempelajari sejarah di Surabaya.
Kafe Musium Kanker Indonesia |
Dari kiri ke kanan : Cak Boni, Ms. Marjolein, Cak Ipung |
Malam itu, bertempat di Kafe Utara Musium Kanker Indonesia di Jalan Kayoon no. 16-18. Acara pertama dibuka dengan parikan khas Suroboyo yang dilakukan oleh Cak Boni. Parikan adalah semacam pantun yang didendangkan dengan nada tertentu, menggunakan bahasa khas suroboyoan yang cenderung kasar dan to the point. Lelaki yang mengenakan baju bernuansa putih dengan udeng di kepala itu melantunkan parikan dengan nada khas, disambut tepuk tangan yang meriah dari peserta undangan.
Cak Boni in action |
Lepas hiburan parikan sejenak dari Cak Boni, barulah sesi diskusi dengan Ms. Marjolein dan Cak Ipung dimulai. Bermula dari sebuah foto album tua tentang kemerdekaan Indonesia yang ternyata ada foto Kakek Ms. Mar (sapaan akrab Ms. Marjolein) saat masih menjadi tentara Belanda dan dikirim ke Surabaya, ia ingin sekali datang ke Surabaya untuk belajar sejarah dari sudut pandang Indonesia.
Ms. Mar datang pertama kali ke Surabaya pada tahun 2010 sebagai fotografer. Ketika ditanya alasan kenapa Ms. Mar betah sering terbang dari Rotterdam – Surabaya adalah karena ke-klik-an dua Kota ini. Surabaya dikenal sebagai kota dengan bahasa yang cukup kasar atau “direct” menurut istilah Ms. Mar, sama juga dengan Rotterdam. Entah ini takdir atau kebetulan semata. Tapi, kata orang, tiada kebetulan di dunia ini, semuanya sudah diatur.
Ms. Marjolein |
Setelah sampai di Surabaya, Ms. Mar sendiri sempat kaget karena dia merasa tidak tahu apa – apa tentang sejarah kolonial Belanda di Surabaya. Ada banyak hal tentang sejarah Belanda di Surabaya yang tidak ia dapatkan di negeri asalnya, Belanda. Begitu pula sebaliknya, ada banyak hal yang tidak diketahui oleh kami sebagai warga Surabaya tentang sejarah dari sudut pandang warga Belanda. Dari titik inilah, Ms. Mar mulai berpikir harus ada suatu jembatan di antara dua sisi sudut pandang ini. Tanpa adanya jembatan ini, sampai kapan pun tak akan pernah ada hati yang berdamai, tak akan pernah ada jiwa yang beristirahat dengan tenang dan tak akan pernah ada lisan yang memaafkan.
Nampak sekali bagaimana ekspresi wajah Bapak Masruddin yang masih berapi – api ketika ditanya tentang perlakuan Belanda kepada mereka. Jelas, sebagai orang Indonesia, pasti mereka mengutuk tindakan para penjajah. Mereka juga ingin merdeka, bebas dari penyiksaan dan lingkaran derita berabad – abad. Tiada yang salah dengan pikiran itu. Para pejuang Indonesia juga ingin bertahan hidup demi impian bersama untuk merdeka .
Ekspresi wajah yang masih dipenuhi dengan semangat membara |
Dapat anda lihat sendiri bagaimana sorot mata bapak Masruddin |
Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk tidak mendengarkan cerita dari sisi mereka. Jangan tutup mata, telinga dan hati kita. Dengarkan baik – baik apa yang akan saya ceritakan selanjutnya. Tetap tenang dan buka pikiranmu.
Ada satu fakta yang berhasil disimpulkan oleh Ms. Mar berdasarkan data yang ia kumpulkan. Ms. Mar menyebutkan bahwa hampir 80% tentara muda Belanda yang dikirim ke Indonesia tidak tahu apa – apa tentang kondisi perang di Indonesia. Mereka bahkan tidak memiliki pilihan. Berangkat ke Indonesia atau dipenjara. Jangan bayangkan penjara jaman sekarang, penjara pada jaman dahulu tentunya lebih kejam dibandingkan jaman sekarang. Kira – kira apa yang akan kita lakukan ketika berada di posisi mereka? Kita manusia, wajar untuk memilih satu pilihan dengan kesempatan bertahan hidup yang lebih besar meskipun terkadang itu berlawanan dengan hati nurani. Wajar. Karena kita hanya manusia, bukan makhluk sempurna.
Lagu kebangsaan Indonesia yang dinyanyikan Mr. Han sukses membuat saya menangis saat itu juga. Emosionalnya begitu dalam saat menyanyikan lagu itu. Bagaikan ada torehan luka menganga di hati beliau. Sorot matanya memancarkan sebuah kesedihan yang teramat dalam, jauh dalam ingatan masa lalunya. Seakan – akan beliau sedang mendengarkan jeritan rakyat Indonesia, suara dentuman bom saat menghantam tanah Indonesia dan bunyi rentetan tembakan dari senapan yang menembus tubuh para pejuang Indonesia dikala itu.
Sorot mata yang seperti sedang menerawang jauh menuju masa lalu, penuh dengan penyesalan |
Sebuah kesedihan yang dalam sangat terasa saat menyaksikan |
Mari kita rasakan dan bayangkan ketika kita harus melakukan sesuatu yang tidak ingin kita lakukan. Ada hati nurani yang terpaksa harus ditutup, ada air mata yang terpaksa harus ditahan dan ada rasa bersalah yang harus dibuang jauh ketika melakukan itu semua. Ada banyak nilai – nilai kemanusiaan yang hilang ketika perang itu terjadi. Ada banyak senyuman yang dikorbankan ketika perang itu terjadi. Ada banyak air mata yang keluar ketika perang itu terjadi. Ada hati yang terluka ketika perang itu terjadi. Tak hanya dari satu pihak, namun juga kedua belah pihak. Pihak korban dan pihak pelaku yang bergerak bukan atas kemauannya sendiri.
Indonesia-Belanda. Dua negara, dua hati, dua sudut pandang, satu cerita sejarah. Semoga suatu saat nanti, kedua sudut pandang itu bisa bersatu dalam satu garis lurus yang dinamakan Sejarah Indonesia-Belanda. Bukan sejarah Belanda di Indonesia atau sejarah Indonesia di Belanda.
Sejarah bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, namun untuk mencari pelajaran di masa lalu dan mendewasakan kita di masa depan. Sejarah juga akan selalu melahirkan cerita. Sampai mana cerita itu akan terus mengalir, tergantung bagaimana kita menjaganya, bagaimana kita peduli dan bagaimana kita mengenali. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, bukan? :)
4 komentar
Kalau skrng kita sudah maafkan, moga jd pelajaran buat melukis kisah di masa depan.
Salam buat Mas Ipung ya, dari adek kelasnya yg hijrah ke Jkt :D