Assalamu'alaikum, Surabaya
"Not until we are lost, do we begin to understand ouselves."
"Not until we are lost, do we begin to understand ouselves."
- Henry D. T.-
Sudah lama sekali rasanya tak bersua di Coretan Cerita Penuh Warna. Terlalu lama tenggelam dalam perjalanan, membuat hati ini enggan membuka bilik blog yang sangat penuh dengan kenangan. Entah karena masih terlampau lelah atau marah dengan semua keadaan. Tetapi, saat hati ini kembali pulang, blog ini bisa menjadi rumah pertama untuk menumpah ruah segala cerita, seperti namanya, Coretan Cerita Penuh Warna.
Sebelumnya, saya ingin meminta maaf pada pihak yang mungkin merasa tulisan ini menyinggung perasaan. Saya sama sekali tak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menceritakan sebuah pengalaman agar tak ada lagi Anggita - Anggita lainnya yang merasakan pedih yang sama dengan saya. Cukuplah kisah ini menjadi sebuah kisah belajar bersama.
Kali ini, saya ingin bercerita tentang Titik Nadir Kedua. Kenapa kedua? Karena saya sudah mengalami yang pertama. Titik nadir adalah suatu titik terendah pada bulatan cakrawala, suatu masa di mana manusia berada pada titik terendahnya. Gelombang pasang kehidupan menyerang dengan hebat, menelanmu bulat - bulat dan menghempasmu hingga ke dasar. Kamu melakukan banyak sekali kesalahan. Beberapa orang yang kamu percaya malah membalikkan badan darimu, menjauhimu lalu meninggalkanmu atas semua kesalahan yang kamu lakukan. Tapi dari sini kamu bisa melihat siapa saja orang - orang yang tulus menganggapmu sebagai manusia. Dari sini pula Allah mengujimu, apakah kamu memilih untuk melawan balik dan bangkit sebagai orang yang kuat atau kamu memilih untuk menyerah dan hancur bersama dirimu sendiri.
Setiap manusia mempunyai kisah titik nadirnya masing - masing. Saya pernah mengalaminya dua kali, menyaksikan sendiri kerasnya sebuah pengucilan dan pengkhianatan. Gelombang titik nadir pertama begitu menampar saya hingga jatuh dan terluka. Sebuah kisah klise tentang jatuhnya sebuah kesombongan dalam hati. Allah mengingatkan saya bahwa kepintaran bukanlah segalanya. Betapa saya di masa itu gagal meraih semua mimpi, menata ulang dan Alhamduillah bisa bangkit kembali.
Sedangkan di titik nadir kedua ini, gelombang pasang yang datang mampu menghancurkan saya berkeping - keping. Ombak datang begitu hebat serta membabi buta, tak peduli dengan jeritanku yang meminta untuk berhenti. Semuanya diuji di titik nadir kedua ini. Mulai dari pekerjaan, keluarga, cinta dan cita - cita.
Semuanya sudah saya dapatkan. Mimpi untuk melakukan penelitian di luar negeri tercapai, mimpi untuk menjadi seorang pengajar pun tercapai, saya sudah tak memikirkan masalah keluarga, menemukan orang yang saya pikir adalah yang terakhir dan kembali meniti cita - cita untuk melanjutkan sekolah. Tetapi justru semuanya diuji dari sini.
Berbagai masalah muncul di pekerjaan. Mulai dari kenyamanan, keadilan dan drama kecil di antara sesama rekan kerja. Itu semua masih permulaan. Masalah keluarga pun kembali menyeruak. Luka yang sudah lama terpendam, mencuat kembali. Tak berhenti di situ, beberapa keluarga yang sangat saya sayangi harus pergi selamanya. Eyang putri yang dulu sering menemani saya bermain sejak kecil. Belum lama air mata mengering, sebuah kabar duka kembali datang. Kali ini datang dari keponakan saya bernama Galang yang begitu cepat pergi karena Leukimia.
Saya pun mengalami konflik dengan beberapa orang yang terjadi karena salah paham. Konflik lain berlanjut dengan sebuah teror melalui telepon dan whatsapp yang berkali - kali melontarkan kata - kata kotor dan ancaman. Saya berusaha berbagi dengan orang yang saya percaya, tapi sebuah kesan negatif malah timbul darinya untuk saya. Saya tak mau membebani Ibu maupun sahabat saya dengan cerita - cerita itu. Saya pikir mereka juga sedang berjuang, tak mungkin saya mengganggu mereka dengan ini semua.
Semuanya makin memuncak. Orang yang paling saya percaya pun malah membalikkan punggungnya, menjauh tanpa berkata apa - apa. Saya memilih memendam itu semua sendiri, melampiaskannya dengan melakukan perjalanan ke berbagai kota di tiap akhir minggu, jarang puang ke Surabaya. Sebuah perjalanan yang saya kira mampu mengobati semuanya, tapi nyatanya tidak.
Lelah melarikan diri, saya akhirnya pulang dalam keadaan drop, Ibu saya pun sempat sakit. Saya cuti dari pekerjaan, tukar jadwal mengajar dan meminta untuk off dari kegiatan komunitas yang saya ikuti. Saya pulang ke Surabaya hampir satu bulan lamanya. Di situ saya begitu lelah hingga sempat berdoa untuk minta beristirahat saja. Saya sempat beberapa kali drop hingga sering bersilaturahim ke UGD.
Saya masih bungkam, memilih menyembunyikan semuanya, bahkan saya mengabaikan semua japri dari sahabat - sahabat saya. Mereka semua khawatir saya akan melakukan tindakan berbahaya. Semua telepon sengaja saya matikan. Saya benar - benar ingin sendiri.
Hingga di suatu hari saya benar - benar menangis, melepaskan semua beban. Salah satu sahabat saya, Mbak Um lah satu - satunya yang berani datang ke rumah terkait saya yang masih tak mau bertemu dengan siapa - siapa. Ia membawa roti maryam kesukaan saya dan satu botol air berisi do'a dari Ampel. Ia mengatakan untuk bersabar dan lepaskan saja semuanya. Lepaskan yang membuatmu begitu tersiksa. Beberapa sahabat saya seperti Mbak El, Irma, Ema, Anita dan Anis pun turut menguatkan saya lewat sebuah do'a, sebuah nasehat dan sebuah kunjungan yang membuat saya percaya bahwa masih banyak orang yang istilahnya "eman" (read : menyayangkan) diriku.
Beberapa hari kemudian saya kembali ke Kediri. Satu per satu masalah pekerjaan berangsur selesai. Ada jalan terang yang mulai terbuka. Masalah keluarga pun mulai meluruh dengan sendirinya. Saya pun melakukan perjalanan gila ke Bandung yang dadakan, sebuah pelarian terakhir sebelum saya memutuskan semuanya. Di Bandung saya bertemu dengan sosok teman lama dari masa kuliah dulu. Saya pun sedikit curhat padanya. Ia juga menyarankan untuk melepas semuanya. Jangan percaya siapa pun kecuali Allah. Manusia bisa berkhianat, tapi Allah tidak. Janji-Nya selalu nyata tak seperti manusia yang semu.
Dan...
Semuanya berakhir meskipun tak damai pada suatu pagi di awal bulan April. Sebuah pesan singkat berbahasa asing yang saya balas dengan bahasa asing pula, mengakhiri semua cerita yang tertata rapi di hati. Entah kenapa tak ada air mata yang keluar, justru sebuah kelegaan yang datang. Jangan tanya bagaimana rasanya. Hancur itu pasti. Tapi life must go on kan? Allah juga belum mengijinkan saya untuk beristirahat. Jadi, forgive, forget and go on aja lah. Kita semua adalah manusia yang tak sempurna, bukan malaikat atau pun Tuhan.
Jadikan semua ini pelajaran untuk semakin kuat. Saya sudah tak peduli lagi dengan prasangka orang. Biarlah mereka berkicau sepuasnya atas apa yang mereka tak mengerti. Mereka bukan Tuhan yang mampu mempengaruhi hidupku.
Saya justru sangat berterima kasih kepada mereka, orang - orang yang kupercaya namun meninggalkanku di saat - saat penuh duka. Karena mereka saya terjun menjemput passion saya di dunia tulisan. Saya bahkan mulai serius menekuni dunia literasi, bersama kawan - kawan satu frekuensi. Selain itu, saya juga sangat berterima kasih kepada semua yang tidak menyukai dan memusuhiku, karena kalian aku dapat mengoreksi diri, menjadi lebih sabar dan ada kesempatan untuk mengasihi kalian.
Semua kisah ini menuntun saya untuk kembali menulis mimpi yang telah lama punah karena kehidupan. Saya pun mulai berjalan dari lubang titik nadir, perlahan tetapi pasti. Ternyata banyak sekali bintang - bintang di cakrawala berisi mimpi yang saya lewati selama ini. Jatuh ke titik nadir membuat saya kembali melihat bintang - bintang yang bersinar dengan indahnya di atas sana, membuat semakin ingin berjalan mendekat ke sana. Terimakasih ya Allah telah menjatuhkanku kembali ke titik nadir, karena itu aku semakin kuat.
Stay humble and down to the earth. Semoga semua lelah ini menjadi Lillah pada hidup yang begitu rapuh ini.
Sekali lagi, tulisan ini tak bermaksud menyinggung pihak mana pun. Tulisan ini dibuat agar bisa sama - sama belajar, ber-muhasabah diri lalu sama - sama berjalan untuk memperbaiki diri.
Wassalamu'alaikum :))
1 komentar
Bahkan sempat terfikir..andaikan aku bisa memilih..ku tak ingin terlahir kedunia..
Tapi hidup harus tetap berjalan berdampingan dengan harapan..meskipun jarak pandang masih 0 kilo meter..