"Aku hidup di masa kini dengan menggunakan jatah hidup anak dan cucuku di masa depan. Aku terus saja membuang energi kotor dari kendaraan yang aku pakai, kompor yang aku nyalakan tiap hari, dan air yang kadang aku buang percuma selepas mencuci beras. Air, tanah, tumbuhan, bahkan udara yang aku nikmati sekarang, bisa jadi tak bisa dinikmati oleh generasi masa depan karena aku. Prediksi kerusakan bumi akibat krisis iklim di tahun 2030 membuatku sadar, ada kehidupan di masa depan yang harus aku lindungi dan perjuangkan. Bukan lagi slogan atau teori tentang melindungi bumi, namun butuh aksi nyata untuk menyelamatkan bumi dari dampak krisis iklim. "
Begitulah sepucuk memoar kegelisahanku dalam mengadapi dampak krisis iklim dunia yang semakin mengganas. Bumi kita makin hari makin panas. Kenaikan suhu bumi akan melampaui batas aman pada tahun 2030 dengan skenario terburuk mencairnya es di kutub sehingga permukaan air laut akan naik dan bisa menenggelamkan daratan. Jadi, isu "Jakarta tenggelam" akan menjadi suatu kenyataan jika tidak dibarengi aksi nyata untuk menekan dampak krisis iklim dunia.
Krisis Iklim Dunia, Glasgow on Fire!
Menyikapi dampak pemanasan global yang berujung pada krisis iklim dunia, sebanyak 190 pemimpin negara di dunia akan berkumpul secara virtual di Glasgow, Skotlandia untuk membahas masalah krisis iklim dunia yang semakin wow! Indonesia pastinya juga akan turut hadir dalam acara UN Climate Change Conference (COP26) tersebut. Momentum ini akan sangat menentukan masa depan bumi karena di COP26 akan dibahas aksi nyata dan komitmen 190 negara untuk menekan dampak krisis iklim.
Kali ini COP26 harus benar-benar menghasilkan poin-poin aksi nyata untuk mencapai 4 tujuan utama COP selama ini, yaitu :
- Emisi bersih pada 2050
- Adaptasi dengan melindungi masyarakat dan habitat alami
- Prioritas untuk pendanaan iklim
- Penyelesaian Paris Rulebook
Indonesia Butuh Energi Bersih Pengganti Energi Fosil
Dampak krisis iklim itu sangat serius, oleh karena itu butuh langkah ambisius untuk mencapainya. Dunia, termasuk Indonesia, tak lagi butuh slogan manis, tapi butuh aksi praktis untuk hadapi krisis iklim.
Salah satu langkah ambisius dan praktis yang dibutuhkan Indonesia adalah segera beralih dari energi fosil ke energi bersih terbarukan untuk mencapai emisi bersih. Namun, Indonesia masih memiliki efek ketergantungan yang kuat pada bahan bakar fosil karena harga yang relatif murah, contohnya seperti batu bara.
Solusi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi hal tersebut adalah memanfaatkan bahan bakar nabati atau disebut juga sebagai biofuel. Bahan bakar nabati lebih ramah lingkungan serta mengahasilkan gas emisi 48 persen lebih kecil dibandingkan bahan bakar fosil.
Sejak tahun 2004, pemerintah Indonesia mengembangkan kebijakan untuk mempromosikan produksi biofuel seperti biodiesel dan bioetanol sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) pengganti Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006. Peraturan lain juga dibuat untuk mendukung hal tersebut seperti pembentukan tim nasional pengembangan biofuel tahun 2008. Hingga pada awal tahun 2020, seluruh SPBU di Indonesia sudah bisa menyediakan biosolar dari hasil pencampuran bahan bakar nabati jenis biodiesel dan bahan bakar minyak jenis solar.
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Alternatif Energi Bersih Terbarukan
Bahan bakar nabati atau Biofuel secara luas didefinisikan sebagai padatan, cairan atau gas bakar yang diturunkan dari biomassa tumbuhan atau produk samping tumbuhan. Dalam arti sempit, biofuel didefinisikan sebagai cairan atau gas yang digunakan sebagai bahan bakar transportasi dan berasal dari materi tumbuhan atau produk sampingnya. Biofuel dibagi lagi menjadi 3 jenis, yaitu bioetanol, biogas, dan biodiesel.
Bioetanol
Bioetanol merupakan jenis bahan bakar nabati yang relatif mudah dan murah diproduksi sehingga industri rumahan sederhana pun mampu membuatnya. Cara membuat Bioetanol dengan teknik fermentasi terhadap biomassa yang dapat diperbaharui seperti umbi-umbian, jagung, tebu, bahkan limbah sayuran. Setelah itu, hasil fermentasi harus didestilasi untuk mendapatkan cairan bioetanol murni.
Biogas
Biogas merupakan jenis bahan bakar nabati yang berasal dari hasil fermentasi bahan organik seperti limbah rumah tangga, kotoran (manusia atau hewan), dan limbah yang dapat didaur ulang (biodegradable). Proses fermentasi bahan organik tersebut akan menghasilkan gas dengan kandungan utama metana dan karbon dioksida. Gas inilah yang disebut sebagai biogas.
Biodiesel
Di Indonesia, biodiesel sebagian besar diproduksi dari minyak kelapa sawit, tapi hal tersebut menyebabkan ekspansi lahan untuk kelapa sawit yang berbuah kerusakan lingkungan. Padahal, sebenarnya biodiesel dapat diproduksi dari beberapa jenis bahan baku :
1. Tanaman pangan yang mengandung minyak nabati: kelapa, kedelai, dan lain-lain.
2. Tanaman tidak dapat dimakan yang mengandung minyak: jarak pagar, nyamplung, kelor, kemiri sunan, dan lain-lain.
Biji Mangrove Sebagai Alternatif Biofuel di Surabaya
Salah satu biofuel yang sudah tersedia di SPBU Indonesia, termasuk Surabaya, adalah biosolar. Bahan bakar diesel tersebut didapatkan dari minyak nabati seperti minyak kelapa sawit dan minyak pohon jarak pagar, dibuat dengan proses transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya merupakan proses yang mereaksikan minyak nabati dengan metanol, etanol, dan katalisator (NaOH atau KOH). Dari hasil proses transesterifikasi itu akan dihasilkan metil ester asam lemak murni (Fatty Acid Metyl Ester/FAME). Lalu FAME tersebut dicampur dengan solar murni selama sekitar sepuluh menit untuk menghasilkan bahan bakar Biosolar yang siap pakai. Biosolar memiliki kelebihan dibanding bahan bakar fosil seperti, karakter pembakaran yang relatif bersih dan ramah lingkungan.
Namun, penggunaan bahan baku kelapa sawit dalam proses produksi tersebut masih dianggap punya dampak kerusakan lingkungan ketika banyak sekali ekspansi lahan terjadi untuk penanaman pohon kelapa sawit. Padahal, secara geografis Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan sumber energi
alternatif, diantaranya dari bahan biji buah mangrove.
Menurut Noor dkk. (2006), Indonesia memiliki hutan mangrove terluas dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Berdasarkan data FAO pada tahun 2007, luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 3.062.300 hektar atau 19% dari luas hutan mangrove di dunia, melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Hal tersebut menjadikan mangrove berpotensi jadi bahan baku biodiesel dengan ketersediaan yang berlimpah. Ditambah lagi, pada tahun 2011, Gunawan dkk. telah melakukan penelitian biji mangrove dari hutan mangrove di pantai timur Surabaya, sebagai bahan baku pembuatan biodiesel .
Hasil penelitian biodiesel dari biji mangrove tersebut memiliki tingkat bilangan setana yang lebih tinggi dibandingkan biosolar. Semakin tinggi nilai setana, semakin baik kualitas biodiesel karena pembakaran lebih sempurna dan efisien. Selain itu, diperkirakan biaya untuk pembuatan biodiesel dari biji mangrove lebih murah daripada biosolar. Pada produksi tingkat laboratorium saja hanya memerlukan biaya sekitar 2500 per liter.
Ketersediaan Mangrove di Surabaya
Dalam Laporan Survey Analisa Vegetasi Mangrove oleh tim Dinas Lingkungan Hidup Surabaya tahun 2018, ekosistem mangrove di Surabaya dapat dibagi menjadi wilayah pantai utara Surabaya (Panturbaya) dan wilayah pantai timur Surabaya (Pamurbaya). Jenis mangrove yang ada di pantura dan pamurbaya didominasi genus Avicennia (mangrove terbuka) dan Rhizophora (mangrove tengah). Genus lain yang juga ada yaitu Sonneratia (mangrove payau), Bruguierra, dan Xylocarpus (mangrove daratan).
Perkiraan luas wilayah ekosistem mangrove di panturbaya sekitar 150 hektar yang meliputi Romokalisari, Greges, dan Tambak Langon. Wilayah pamurbaya memiliki luas ekosistem lebih besar daripada panturbaya, sekitar 800 hektar yang tersebar ke beberapa wilayah seperti Tambak Wedi, Kenjeran, Keputih, Gunung Anyar, dan Wonorejo. Pada wilayah panturbaya dan pamurbaya, kerapatan mangrove sekitar 2000-3000 pohon per 1 hektar wilayah. Jumlah tersebut cenderung naik setiap tahun karena usaha pemerintah untuk mengembalikan luas ekosistem mangrove yang sempat berkurang karena rusak.
Biofuel jenis Biodiesel dari Biji Mangrove
Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk membuat biodiesel dari biji mangrove. Seperti penelitian Gunawan dkk. (2011) yang membuat biodiesel dari mangrove genus Xylocarpus dari pamurbaya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tiap 1 gram minyak mentah dari biji mangrove bisa terkonversi menjadi 0,32 gram biodiesel atau sekitar 32% berat.
Penelitian lain (Suyono dkk., 2017) menyebutkan bahwa biodiesel dari mangrove genus Callophylum memiliki rendemen minyak 40-70% lebih tinggi dibandingkan tanaman jarak dan kelapa sawit. Angka setana yang dihasilkan juga cukup tinggi, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Kedua penelitian tersebut menunjukkan potensi biji mangrove sebagai bahan baku pembuatan biofuel jenis biodiesel yang ramah lingkungan, murah, dan dapat diperbaharui. Selain itu, tak perlu ekspansi lahan untuk budidaya mangrove karena luas ekosistem mangrove di Indonesia sangat besar.
Hanya saja, perlu penelitian lanjutan mengenai beberapa hal agar potensi biji mangrove bisa digali lebih dalam lagi seperti :
- Kemampuan genus lain untuk menghasilkan biodiesel agar mendapatkan data genus mangrove mana yang paling berpotensi untuk dijadikan bahan baku biodiesel.
- Penelitian tentang bilangan sektan beberapa biodiesel dari genus mangrove.
- Estimasi perbandingan luas ekosistem mangrove dan kebutuhan biofuel di masa depan.
Referensi
- Anastasia Kharina, Chris Malins, and Stephanie Searle, Biofuels policy in Indonesia: Overview and status report. (ICCT: Washington, DC, 2016), https://theicct.org/publications/biofuels-policy-indonesia-overview-and-status-report
- "Apa itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?",Madani Berkelanjutan, diakses pada 25 Oktober 2020, https://madaniberkelanjutan.id/2021/10/05/apa-itu-biofuel-bahan-bakar-nabati
- Dinas Lingkungan Hidup Surabaya, 2018, "Laporan Survey Analisa Vegetasi Mangrove", Dinas Lingkungan Hidup Surabaya, Surabaya
- FAO, 2007, "The World’s Mangroves 1980–2005". Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome
- Gunawan, S., Darmawan, Dhika, A., Setio, A., Nanda, M., dan Aliwafa, 2011, "POTENSI BIJI BUAH MANGROVE XYLOCARPUS MOLUCCENSI SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIODIESEL", Seminar Rekayasa Kimia dan Proses, UNDIP, Semarang
- Karna Wijaya, "Biofuel dari Biomassa", Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada, diakses pada 25 Oktober 2020, https://pse.ugm.ac.id/biofuel-dari-biomassa/
- Noor, Yus Rusila., M. Khazali., I.N.N. Suryadipura, 2006, "Panduan mengenal mangrove di Indonesia", Wetlands International Indonesia Programme
- Suyono, Hartanti, N.U., Wibowo, A., dan Narto, 2017, "Biodisel dari Mangrove Jenis Nyamplung (Callophylum inophyllum) sebagai Alternatif Pengganti Bahan Bakar Minyak Fosil", Biosfera, vol. 34, hal. 123-130.
2 komentar