Assalamu'alaikum, Surabaya!
Suatu ketika aku pernah merasa begitu tertinggal dengan teman-teman yang lain. Setelah melahirkan, aku masih fokus mengurus anak, hingga sedikit melupakan mimpi sekaligus target dalam hidup. Rasanya iri melihat teman-teman sudah mencapai targetnya, sedangkan aku masih jalan di tempat.
Aku pun mulai bergerak kembali, mengejar target yang sudah lama tertinggal. Ikut pelatihan secara daring, mengatur kembali blog, ikut beberapa seminar digital marketing, dan mulai ikut proyek campaign instagram. Rezeki berupa uang sudah didapat, tapi masih belum sesuai targetku.
Setelah beberapa bulan menjalani kehidupan yang begitu terasa cepat, sampai rasanya seperti dikejar sesuatu yang membuat hati gundah, bibit-bibit depresi mula muncul. Rungsing rasanya hati ini, gelisah, dan gundah. Apa sih yang sebenarnya ingin dicapai dari segala bentuk kejaran target itu?
"Jangan terlalu mengejar rezeki, sayang," begitu kata suami saat aku mencurahkan apa yang aku rasakan.
Aku pun terdiam, kata-kata itu seakan menamparku agar segera bangun,"trus gimana, dong? Aku kan juga ingin mimpi dan target hidupku tercapai."
"Kalau sudah merasa seperti dikejar-kejar, coba slow down sebentar. Kita nggak harus kok jalan cepat-cepat buat mencapai tujuan. Jalan pelan-pelan dulu, buat merasakan apa aja sih yang sudah kita dapatkan selama ini. Turunkan target yang cukup bisa dijangkau," katanya sambil mengusap kepalaku, "contohnya bikin target rutin menulis dulu satu minggu satu cerita, daripada langsung target dapat adsense 10 juta dari menulis."
Begitulah sesi curhat bersama pasangan yang aku lakukan saat kehidupan terasa begitu tidak santai. Ada satu hal menarik dari wejangan suami, yang katanya terinspirasi dari salah satu temannya sesama lulusan psikologi. Aku sedikit heran di bagian "turunkan target yang cukup bisa dijangkau". Sebagai pribadi yang terlatih kerja cepat dan multi tasking, yang aku tahu target harus dibuat setinggi mungkin agar ketika jatuh tidak terlalu sakit. Terjadilah pergulatan batin saat itu, tapi setelah suami menjelaskan panjang lebar, aku akhirnya sepakat dengannya.
Kadang kita memang harus slow down sebentar untuk menurunkan target sesuai kemampuan, serta lebih mindfulness ketika menghadapi suatu kendala yang terjadi. Ketika kita menurunkan target, otomatis saat target itu tercapai, kita akan merasa cukup, lalu bersyukur. Nah, sebenarnya "gong" dari apa yang dikatakan suamiku adalah "rasa syukur". Melambatkan laju kehidupan untuk sejenak merasakan secara mendalam ritme kehidupan ini bisa dikaitkan dengan konsep slow living.
Apa sih slow living itu? Hidupnya dibikin santai kayak di pantai gitu, atau hidupnya malah dibikin jadi lelet?
Tenang, konsep slow living lebih dalam dari sekadar melambatkan laju kehidupan saja. Banyak pelajaran yang bisa diambil, termasuk konsep syukur dari sini.
Konsep Slow Living
Slow Living Secara Umum
Konsep slow living secara sempit adalah menjalani hidup dengan cara lambat. Namun, cara lambat di sini bukan berarti gaya hidup bermalas-malasan. Secara luas, slow living adalah cara untuk menjalani hidup dengan sadar sepenuhnya. Setiap aktivitas yang sedang lakukan harus dirasakan betul, dinikmati dan disadari. Pernah nggak sih ngerasa hidup, tapi tidak sadar sepenuhnya? Contoh paling gampang saat makan kadang dibarengi cek notifikasi kerjaan di dalam grup WhatsApp atau Telegram, tahu-tahu makanan sudah habis. Masih ingat nggak apa nama makanan yang barusan dimakan? Rasanya bagaimana? Udah baca doa sebelum dan sesudah makan?
Kalau belum bisa menjawab sepenuhnya, berarti kita tidak sadar sepenuhnya dalam melakukan suatu aktivitas. Banyak hal kecil yang terlewat saat melakukan dua aktivitas secara bersamaan, tapi tidak sadar sepenuhnya. Bahkan hal sekecil bersyukur setelah makan jarang dilakukan, karena pastinya masih banyak orang lain yang belum bisa makan seperti kita.
Menjalani gaya hidup slow living bisa menciptakan jalan hidup yang lebih baik, produktif dan berkualitas. Bukan gaya hidup yang serba cepat dan selalu terjebak tren, sehingga menghilangkan kesadaran serta perhatian pada nikmatnya hidup di setiap detik waktunya.
Sumber : muslimahdaily.com; Desain : Canva |
Slow Living dalam Agama Islam
Di dalam ajaran agama Isla sendiri, sebenarnya bibit konsep slow living ini sudah ada di dalam Al Qur'an, bahkan sudah ada dalam anjuran jeda gerakan ketika sholat. Apakah itu?
Ya. Tuma'ninah.
Lakukan sholat dengan tuma'ninah, perlahan, khusyuk, dan resapi arti bacaan dalam sholat, hingga rasanya seperti berkomunikasi dengan Allah SWT.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, Jika kamu berdiri untuk salat, maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah dari Al-Qur'an. Kemudian rukuklah hingga benar-benar tuma'ninah (tenang dan mapan) dalam rukuk itu, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak lurus (i'tidal), kemudian sujudlah sampai engkau tuma'ninah dalam sujud, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga tuma'ninah dalam keadaan dudukmu. Kemudian lakukanlah semua itu di seluruh rakaat salatmu. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Konsep slow living juga selaras dengan perintah Allah dalam Al-Qur'an surat Al Insyirah ayat 7. Sebagai manusia, harus mengerjakan dengan fokus satu pekerjaan hingga selesai, baru kerjakan pekerjaan lainnya. Tidak dianjurkan untuk multitasking agar bisa menyelesaikan satu pekerjaan dengan maksimal.
"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain" QS : Al Insyirah ayat 7.
Manfaat Slow Living
Banyak sekali manfaat yang didapatkan ketika menjalankan konsep slow living dalam hidup. Hidup serba cepat dan dikejar deadline itu kadang membuat hidup jadi tak tenang. Bahkan tak jarang mental dan fisik turut sakit saat dituntut serba cepat. Kalau sudah begitu, tak aa salahnya mencoba gaya hidup slow living dengan berbagai manfaat sebagai berikut :
Desain : Canva |
1. Mudah Bahagia
Gaya hidup santuy ala slow living mengajak kita untuk lebih menghargai segala sesuatu yang sudah kita dapat atau lakukan mulai dari hal paling kecil seperti bisa bernapas dengan normal. Bandingkan saja ketika flu dan hidung buntu, pasti sangat menyiksa sekali saat bernapas dengan hidung buntu. Dengan begitu, kita akan lebih mudah bersyukur untuk hal-hal kecil dan mudah mendapatkan kebahagiaan karena hal-hal kecil tersebut.
2. Mental dan Fisik Lebih Sehat
3. Meningkatkan Kualitas Kerja
Kualitas hasil pekerjaan bisa meningkat ketika kita menjalani slow living dengan komitmen. Fokus dulu terhadap satu pekerjaan, sebelum menyelesaikan pekerjaan lainnya. Sadari sepenuhnya apa sih pekerjaan yang sedang aku lakukan, kenapa aku harus melakukan pekerjaan ini, dan apa dampak pekerjaan ini bagi orang lain di sekitarku. Pekerjaan yang dilakukan dengan sadar dan fokus akan lebih bagus hasilnya, dibanding beberapa pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan dan tidak disertai kesadaran penuh.
4. Waktu Luang Lebih Bermakna
Terlihat santai dengan gaya hidup slow living bukan berarti hidupnya cuma bermalas-malasan ria. Konsep slow living mengajarkan kita untuk memilih mana saja aktivitas yang hanya membuang waktu dan aktivitas yang terlihat membuang waktu, tapi berfaedah. Misalkan saat menjelajah media sosial, agar berfaedah, manfaatkan untuk mencari hal-hal positif yang bisa upgrade skill.
Slow Living Versiku
Beberapa waktu yang lalu aku mulai merencanakan untuk adopsi gaya hidup slow living karena aku sudah merasa kurang sehat secara mental maupun fisik. Hidup terlalu mengejar sesuatu itu ternyata juga tidak baik. Kalau larinya terlalu kencang, bisa jadi ada kerikil kecil yang tak terlihat, lalu menjegal langkah kita. Selain itu, ada rasa tak nyaman serta gelisah saat melakukan segala sesuatu seperti diburu waktu, agar cepat sampai ke target yang sudah dituju.
Puncaknya sampai di suatu malam terlintas pemikiran ekstrim, "emang nanti malaikat munkar dan nakir bakalan tanya berapa artikel blogmu yang masuk page one google? Berapa penghasilan adsense blogmu?" Nauzubillah min dzalik, auto istighfar berkali-kali malam itu, sampai terbawa mimpi buruk juga. Meskipun alasannya untuk meningkatkan softskill blogging, tetap ada batasan sampai mana aku harus mengejar ketertinggalan, dan sampai mana aku harus berhenti untuk relaksasi sejenak. Tak harus terburu-buru juga kok.
Dari situ aku mantab ingin sekali menjalani slow living, tapi tetap dengan segala komitmen beserta misi target. Sudah dijelaskan berkali-kali juga bahwa hidup melambat, bukan berarti malas-malasan. Target dan goals tetap ada, hanya saja dengan cara lebih menikmati cara untuk mencapai itu semua. Begini slow living versiku agar hidup lebih bahagia, damai, dan sejahtera :
Desain : canva |
1. Menikmati Aktivitas
Hal pertama yang aku lakukan adalah menikmati tiap aktivitas yang aku lakukan. Seperti saat makan, aku lebih fokus untuk menikmati rasa, tekstur, dan aroma makanan tanpa didampingi gadget. Saat menulis blog pun, aku hanya menargetkan 1 minggu 1 cerita sesuai kemampuan awal. Maklum, ada makhluk kecil titipan Allah yang harus aku jaga dulu dengan penuh kasih sayang. Kalaupun ibu lain bisa tetap menulis blog dengan target 1 hari 1 cerita, aku tak harus mengikuti tren dia kan? Dia ya dia, aku ya aku, kita sama-sama ibu, tapi berbeda cerita dan kemampuan.
Cara lainku menikmati aktivitas bisa aku contohkan lagi seperti saat aku mencuci beras yang akan ditanak jadi nasi. Aku punya kebiasaan memutar beras yang sedang dicuci, searah dengan tawaf di Ka'bah. Sambil memutar beras, perlahan aku selipkan doa untuk para petani yang sudah bekerja keras menanam padi, serta memohon berkah rezeki halal kepada Allah lewat beras tersebut. Setelah itu, air bekas cucian beras aku siramkan ke tanaman sambil mendoakan tanaman tersebut agar tumbuh dengan cantik dan sehat.
2. Turunkan Target, Resapi dengan Syukur
Menurunkan target hidup dalam konsep slow living, dapat aku definisikan secara pribadi sebagai cara lain untuk bersyukur atas apa yang sudah aku punya dan dapatkan. Sebagai ilustrasi, aku punya target tinggi untuk mendapatkan penghasilan jutaan per bulan. Namun, saat merasa target itu terlalu tinggi dibandingkan kemampuan yang aku miliki, aku turunkan target menjadi minimal aku punya penghasilan untuk jajan dan kebutuhan anakku. Target pun terpenuhi, aku merasa cukup, dan otomatis kata syukur pasti terucap dibandingkan kata "kurang, kurang, dan kurang. Hati lebih tenang, damai, dan bahagia saat target kecil itu tercapai. Selanjutnya, barulah target itu dinaikkan perlahan sesuai kondisi kesiapan mental dan fisik.
3. Praktek Mindfulness
Dalam dinamika kehidupan, ada kalanya kita begitu khawatir berlebihan terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi atau istilah populernya overthinking. Hal ini bisa berakibat fatal terhadap kesehatan baik mental maupun fisik. Hidup jadi tidak tenang, bahkan aku juga sempat mengalami vertigo parah berujung bedrest, dan dianjurkan untuk eco therapy agar otak banyak menyerap oksigen secara maksimal dari alam hijau (baca ceritanya di sini).
Dampak negatif dari overthinking bisa diatasi dengan teknik pengendalian pikiran menggunakan mindfulness. Praktek konsep mindfulness membuat kita jadi fokus akan kehidupan di masa ini, bukan di masa lalu, atau di masa depan. Bahasa gaulnya sih living in the moment, tanpa khawatir berlebihan akan masa depan, dan masa lalu.
4. Santai tapi Berkomitmen
Ternyata hidup santai itu sungguh sangat menenangkan, loh. Eits tapi santai di sini juga punya komitmen serta target. Masih ada benang merahnya dengan menurunkan target kehidupan sementara waktu. Jadi meskipun santai, tetap punya komitmen untuk mencapai target yang lebih tinggi secara bertahap. Agar lebih mudah memahami, bayangkan saja ketika ingin naik tangga dari lantai 1 ke lantai 16. Kira-kira energi serta stress yang keluar lebih besar ketika naik satu demi satu tangga dengan catatan waktu lebih lama atau langsung naik tiap 4 tangga sekaligus dengan catatan waktu yang lebih cepat? Lebih bahagia mana ketika naik satu per satu tangga sambil menikmati indahnya pemandangan atau langsung gass pol naik 4 tangga sekaligus tanpa toleh kanan-kiri?
Apa pun jawabannya, semuanya kembali kepada manusia yang menjalani. Mau pilih gaya hidup slow living dengan naik tangga satu per satu atau gaya hidup serba cepat dengan naik 4 tangga sekaligus biar cepat sampai. Pilihan ada di tangan masing-masing.
5. Latih Tenang dengan Dzikir
Di dalam konsep slow living, ketenangan adalah kunci setiap aktivitas yang kita lakukan. Jangan pernah terpancing untuk latah mengejar target yang dibuat orang lain. Fokus pada target diri sendiri, selow, kita pasti sampai di tujuan. Buat yang terbiasa aktivitas dengan ritme hidup serba cepat, terutama untuk yang muslim, bisa coba dzikir perlahan sambil diresapi artinya.
Nah, begitulah beberapa cara yang aku lakukan dalam memulai gaya hidup slow living. Awalnya tak mudah, tapi kalau sudah terbiasa akan terlihat sekali perbedaannya. Hidup rasanya lebih tenang, damai, santai, adem banget. Pikiran rasanya lebih bersih dan jernih. Target juga malah makin banyak yang tercapai, rezeki pun juga mengikuti layaknya magnet. Bagaimana?Tertarik untuk mencoba gaya hidup slow living?
12 komentar
Tapi pas pandemi DTG, kayak ditampar Ama yg di Atas, kalo semua target2 tinggi tadi ga bakal bisa aku capai dengan kondisi seperti skr. Aku sebelumnya rutin traveling keluar mba, tapi dengan pandemi, mana bisa jalan2 lagi 🤣.
Baru setelah pandemi ini, aku sadar, selama ini aku ga menikmati hidup. Aku ngejar target traveling ke banyak negara, tapi kayaknya hanya sekedar ngejar jumlah. Bukan menikmati bener2.
Skr pun aku jadi lebih slow. Ga mau ngoyo lagi. Sebisa mungkin jgn multitasking. Menikmati setiap effort utk mencapai target.
Aku resign dari kantor dan akhirnya bisa bener2 menikmati hidup sekarang. Malah jujurnya, dengan slow living, stress jauuuuh berkurang 😄👍
Yaa akhirnya aku woles aja,slow living ya itulahnya.. yang penting anak-anak dan keluarga terurus yang lain bisa nyusul. Makasih Kak. insightful!
tapi emang bener banget, mindfulness dan slow living seidkit banyak ngebantu kalo pikiran lagi bisa waras 😝
yuk semangat yuk pake kacamata kudu nggak usah tolah toleh hehe 🌻🌸