"Nakal, kamu, ya!" Teriak seorang wanita kepada anak kecil yang tidak sengaja menumpahkan minuman di hadapanku. Wajahnya terlihat tidak segar. Samar-samar seperti ada lingkaran hitam di bawah matanya yang agak sembab.
Anak kecil itu spontan menangis saat sang ibu membentaknya. Beberapa penumpang kereta melontarkan kata-kata kasar kepada sang Ibu yang tega membentak anaknya seperti itu. Beberapa lagi memilih diam sambil menatap tajam sang ibu.
Aku memilih untuk menenangkan sang anak kecil yang masih menangis. Aku berikan kue yang aku bawa sebagai bekal, lalu mendudukkan anak itu di sampingku. Tanpa aku sadari, sang ibu ternyata ikut menangis. Sambil menggendong bayi, dia membersihkan minuman yang ditumpahkan anaknya di sekitarku.
Tampak sekali ada beban yang ia pikul sendirian. Rasa iba mulai muncul dalam dadaku. Tanpa banyak berkata-kata, aku berikan tissu kepada sang ibu untuk sekadar membersihkan air mata yang terus menetes. Suasana begitu hening di antara kami. Tanpa kata, tanpa suara. Hanya ada suara isak tangis sang ibu sambil sesekali ia menyusui adik bayi yang kadang menangis. Entah karena lapar atau ikut merasakan kesedihan ibunya.
Setelah agak tenang, ibu itu berterima kasih padaku lantaran aku mau mengajak si kakak bermain untuk sementara. Saat itu aku masih belum mengerti sepenuhnya perasaan sang ibu. Ada sebagian emosi marah dalam diriku karena perbuatan sang ibu yang berlebihan dalam membentak anak. Namun, sebagian lain dalam diriku turut merasakan getaran tekanan batin sang ibu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Emak-emak: "Everyday is a battle!"
5 tahun berlalu sejak kejadian ibu yang membentak anak di kereta api lokal dari Kediri menuju Surabaya. Saat ini, aku telah menjadi seorang ibu dari satu anak. Aku memutuskan untuk resign dari kantor dan jadi ibu rumah tangga. Ternyata, rutinitas ibu rumah tangga bukanlah rutinitas santai seperti yang dibilang beberapa orang. Aku lebih mudah stress dibandingkan saat bekerja dulu.
"Everyday is a battle!"
Yap! Tiap hari rasanya seperti ada di medan perang. Entah itu perang lawan GTM anak, perang dengan tantrum anak, sampai perang dengan diri sendiri. Perang setiap hari dalam lingkup rumah tangga rasanya melelahkan baik secara fisik maupun mental. Hal inilah yang jadi penyebab tingkat stress saat jadi ibu rumah tangga lebih tinggi daripada saat mendapat tekanan pekerjaan kantor.
Kata suami yang lulusan psikologi, hal itu masih wajar selama kita bisa mengimbangi dengan hal lain yang membuat bahagia diri sendiri.
"Wajar kalau seperti itu, kamu masih proses penyesuaian antara gaya hidup yang terbiasa bersosialisasi dengan gaya hidup di rumah saja. Dulu kamu terbiasa di luar, sekarang cuma diam di rumah aja sama anak. Coba lakukan apa pun yang membuatmu happy. Aku pasti dukung."
Akhirnya aku paham betul apa yang dirasakan sang ibu dua anak dari kereta api 5 tahun yang lalu itu. Aku yang selalu didampingi suami dan ibu kandung saja masih merasa stress, apalagi ketika harus mengasuh anak sendirian. Bisa double-kill emosinya. Jadi aku bisa sedikit memahami kenapa ibu itu tega membentak anaknya yang masih berusia sekitar 2 tahun.
Suami yang suka sebal kalau aku mulai mencak-mencak seperti reog, akhirnya mengajakku untuk berdiskusi. Beliau menyuruhku untuk menyebutkan apa saja sih yang membuatku "nggak happy" selama jadi emak-emak. Karena aku tipe orang yang susah untuk mengungkapkan rasa dalam ucapan, akhirnya aku memilih untuk menuliskan segala keresahan yang membuatku "nggak happy" tersebut.
Penyebab Unhappiness Emak-emak Versiku
"Pikiranku, tak dapat kumengerti. Kaki di kepala, kepala di kaki..."
Siapa yang auto nyanyi saat membaca sebaris kalimat lagu di atas? Potongan lirik tersebut berasal dari lagu band Indonesia yang dulu masih bernama Peterpan dan saat ini sudah berganti nama menjadi NOAH. Lagu itu sangat mewakili perasaanku saat menjadi emak-emak dengan tingkat stress yang tinggi. Rasanya dunia jungkir balik tak karuan. Hati rungsing, gelisah, dan tak punya arah.
Sebenarnya apa sih yang jadi penyebab emak-emak seperti diriku merasakan unhappiness, padahal uang jajan juga mengalir deras dari pak suami. Aku pun coba menganalisis diriku lebih dalam, seperti saran suami. Butuh waktu agak lama untuk berdialog dengan diri sendiri dan merumuskan penyebab unhappiness dari dalam diriku. Berikut beberapa penyebab aku "nggak happy" menikmati peran sebagai emak-emak di rumah.
1. Adaptasi dari Aktivis yang Loncat Sana-sini menjadi emak-emak yang diam di rumah
Dulu aku sering tergabung dalam organisasi kampus atau komunitas. Wara-wiri, ikut kegiatan A-Z, dan sering berinteraksi dengan orang baru adalah hal yang aku nikmati saat itu. Sejak kuliah sampai akan menikah, kalau dihitung sudah 10 tahun aku hidup sebagai aktivis atau relawan. Namun, semuanya berubah sejak aku punya bayi. Pikirku saat itu, resign dan fokus di rumah saja sebagai ibu rumah tangga adalah pilihan yang lebih santai daripada bekerja sambil merawat bayi.
"Ternyata, ternyata aku salah. Salah sangka kepadamu..."
Nyatanya, beban ibu rumah tangga lebih besar daripada beban saat aku jadi ketua atau wakil kegiatan organisasi. Tentu saja karena tanggung jawab yang dibawa berbeda bobotnya. Nah, ternyata aku masih kaget dengan perubahan besar dalam hidupku ini dan itu yang membuatku mudah merasa tertekan atau "nggak happy".
2. Merasa Tidak Cantik Pasca melahirkan
"Jelek sekali," pikirku saat itu ketika memerhatikan diri sendiri dari ujung rambut ke ujung kaki.
Badan melar, wajah kusam, rambut rontok, ditambah lagi kantung mataku sampai punya kantung mata. Wajar sih, mulai dari hamil sampai melahirkan, tubuh emak-emak banyak mengalami lonjakan hormon yang kadang berimbas ke kondisi kulit. Mulai dari stretch mark, jerawat, ketiak menghitam, dan lain-lain. Apalagi kalau kebetulan melahirkan secara caesar sepertiku, bertambahlah bekas luka seumur hidup yang bersarang di tubuhku. Aku pun sempat benci dengan perubahan besar di tubuhku. Hal inilah salah satu pemicu unhappiness dalam kehidupanku sebagai emak-emak.
3. Butuh Ruang untuk Berekspresi
Karena terbiasa loncat kesana-kemari sebagai aktivis, aku sadar bahwa aku sangat membutuhkan ruang untuk berekspresi di rumah. Seperti penjelasan dalam artikelku yang berjudul Wanita Berkeluarga 'Undercover' bahwa wanita itu setiap harinya butuh menyalurkan 20.000 kata untuk berekspresi agar tetap waras dan menjaga keseimbangan fungsi otak. Kalau hanya duduk manis mengerjakan pekerjaan rumah dan merawat anak, jujur seperti ada yang hilang dari jati diriku.
4. Terlalu Membandingkan Diri dengan Emak Lainnya
Sebagai emak yang juga manusia, kadang ada perasaan iri atas emak lainnya yang menurutku nasibnya lebih beruntung dari diriku. Terutama ketika hal tersebut ditunjukkan di media sosial. Nah, dari titik ini, ada sesuatu yang aku lupakan. Setiap emak di muka bumi, punya dimensi kebahagiaannya masing-masing. Kadang sesuatu yang menurutku hal yang bisa membuatku bahagia, belum tentu bisa membuat emak lain di belahan bumi bagian utara bahagia. Begitu pun sebaliknya. Bahagia itu relatif, tergantung sudut pandang mana yang kita pakai.
5. Waktu Berdua dengan Suami Kurang
Aku dan suamiku menikah tanpa pacaran. Kami kenal di awal 2019, tunangan di bulan April 2019, dan menikah di bulan Juni 2019. Awalnya, aku kira akan cenderung lama hamil karena aku punya riwayat siklus menstruasiku yang hanya 2-4 bulan sekali. Akan tetapi, Sang Pencipta memberiku kejutan sebuah titipan janin pada September 2019. Otomatis aku masih kekurangan waktu untuk pacaran sekaligus mengenal suami lebih dekat. Apalagi setelah melahirkan, seluruh mata tertuju pada si bayi kecil yang lucu, imut, dan menggemaskan itu. Semakin berkuranglah waktu berdua saja dengan suami.
Happiness 'Receh' Penyelamat Mentalku
Setelah paham apa saja hal yang membuatku merasakan unhappiness sebagai emak-emak, suami pun membantuku mencari jalan keluar agar aku menemukan happiness yang aku butuhkan. Dimulai dengan obrolan ringan berdua setelah anak tidur tentang apa keinginan yang aku pendam selama jadi emak-emak, hal apa yang bisa ia lakukan agar aku happy, dan sebagainya. Suamiku berjanji akan selalu mendukung asalkan positif dan tidak mengganggu orang. Nah, berikut ini adalah happiness 'receh' yang mampu membuat hatiku bersenandung ria seperti Snow White yang tetap ceria meskipun dibuang di hutan.
1. Seblak dan Bakso Aci Pedas Juaranya!
Yap! Aku pecinta snack Bandung seperti seblak dan bakso aci yang punya cita rasa asin-pedas. Dilansir dari Hormon Health Network, menikmati jajanan favorit ternyata bisa memicu pembentukan salah satu hormon kebahagiaan, yaitu endorfin yang berfungsi untuk meredakan stress. Saat stress melanda di kala mendung menyapa, menikmati seblak atau bakso aci pedas adalah jalan emak-emakku untuk meraih kebahagiaan yang nyata. Sebenarnya banyak sih camilan favorit sebagai pertahanan pertama stress selain seblak dan bakso aci seperti terang bulan, es krim, martabak, dan lain-lain. Akan tetapi, tetap seblak dan bakso aci pedas juaranya!
2. Ritual Skincare-an, Caraku Merasa Lebih Cantik
"Kan sering di rumah aja, ngapain ingin merasa cantik? Cantik itu cukup buat suami."
Pertanyaan sekaligus pernyataan di atas memang betul, tapi cukup menggelitik bagiku. Justru karena ada suami di rumah makanya aku ingin selalu terlihat cantik. Kalau pun bukan bukan untuk suami, minimal untuk diri sendiri. Entah kenapa, saat aku merasa cantik, kepercayaan diri serta kebahagiaan bertambah 200%. Mau melakukan apa pun, bawaannya jadi happy terus seharian. Serasa jadi ratu dengan wajah glowing yang memesona di depan suami dan tentu saja diri sendiri.
3. Jalan-jalan Sambil Bergandengan Tangan
Selain hormon endorfin, ada juga hormon kebahagiaan lain yang bisa didapat dari interaksi dengan pasangan, yaitu hormon dopamin, serotonin, bahkan oksitosin. Menurut penelitian dari International Journal of Neuroscience sentuhan atau pijatan dari pasangan bisa meningkatkan keempat hormon kebahagiaan dalam tubuh.
Beberapa waktu yang lalu, suami mengajak untuk pergi berdua saja untuk nonton film Marvell terbaru. Aku pun auto sumringah dengan wajah berbinar-binar. Anak kami titipkan sejenak ke ibuku di rumah. Sambil berjalan-jalan, aku menggandeng tangan suami layaknya remaja ABG yang baru pacaran. Ternyata memang benar bahwa hal yang dilakukan berdua dengan pasangan lebih mudah memicu hormon kebahagiaan untuk bangkit. Pergi berdua saja dengan suami ternyata juga penting untuk menguatkan bonding suami-istri.
4. Ngeblog dapet Bonus Cuan
Pekerjaan yang paling membahagiakan adalah hobi yang dibayar" (Anonim).
Awalnya suami menyarankan agar aku menulis kembali di blog sebagai sarana self-healing. Aku dulu memang suka sekali menulis. Namun, sejak melahirkan, aku benar-benar vakum menulis. Mungkin karena aku tidak pernah menulis lagi, akhirnya aku tak punya ruang untuk berekspresi dan melampiaskan keresahanku.
Awal tahun 2021 aku niatkan untuk kembali menulis di blog sebagai ruang untuk menuangkan segala keresahan maupun luapan perasaan yang tak bisa aku ungkapkan dalam ucapan. Rasanya sedikit lega. Tekanan dalam batin pun perlahan berkurang. Lama-kelamaan, aku semakin jatuh hati kepada blog, terjun ke dalam dunia blogger, dan entah bagaimana Allah mengaturnya hingga aku mendapatkan bonus cuan dari blog. Happy banget pastinya, dari tulisan jadi cuan.
5. Belanja Online
Tak dapat dipungkiri, kaum emak-emak selalu identik dengan belanja, belanja, dan belanja. Apalagi selama pandemi aku jarang sekali ke mall dan lebih suka belanja online. Membeli barang yang aku sukai sudah termasuk kebahagiaan hakiki sebagai kaum emak-emak yang mudah stress.
Happines is…
Pada dasarnya makna happiness itu akan memiliki versi yang berbeda pada setiap orang. Happiness versi emak-emak tentu berbeda dengan happiness versi remaja. Bahkan happiness versi emak-emak pun akan punya makna berbeda dengan emak-emak lain di belahan bumi utara, selatan, barat, dan timur. Jadi, jangan coba samakan makna kebahagiaanmu dengan orang lain. Ibaratnya seperti memaksa ikan di laut untuk terbang di udara memakai cara burung. Padahal, ikan di laut tak perlu memakai cara burung untuk bisa terbang. Ikan di laut juga bisa terbang pakai cara lain. Misalnya saja dengan meletakkan akuarium berisi ikan ke dalam balon udara dan voila! Ikan pun terbang.
Sebagai emak-emak yang relatif mudah stress, perlu sekali menemukan cara untuk meraih happiness dalam kehidupan rumah tangga. Ibu yang bahagia akan membawa ketentraman dalam rumah tangga. Mulailah merangkul makna kebahagiaan dari versi yang paling receh sekalipun seperti makan jajanan seblak mang Udin level 20 atau main towel-towelan dengan suami. Kenapa harus dari hal receh sekalipun? Sebab, uang 20 milyar tak akan disebut 20 milyar kalau kurang Rp100 saja. Jadi, jangan sepelekan hal receh yang bisa membuat emak-emak sekalian menemukan happiness yang sesungguhnya, ya!
Referensi
Hormone Health Network https://www.hormone.org/your-health-and-hormones/glands-and-hormones-a-to-z/hormones/oxytocin diakses 23 Maret 2022
Tiffany Field, Maria Hernandez-Reif, Miguel Diego, Saul Schanberg, and Cynthia Kuhn, (2005), "Cortisol Decreases and Serotonin and Dopamine Increase following Massage Therapy", International Journal of Neuroscience, 115:10, 1397-1413, DOI: 10.1080/00207450590956459
31 komentar
Perempuan setelah menikah memang butuh banyak ruang berekspresi dan berkarya yaa.. Aku jadi merasa so relate dengan diriku.
Senang sekali dengan kebahagiaan yang bagi orang lain mungkin terlihat sepele, tapi bagi seorang Ibu, ini sangat berharga.
memang luar biasa karena ngurus sendiri
tapi dimudahkan dengan suami yg ga banyak mau
nyucu laundry..makan katering
tp tetap aja butuh kewarasan dan perlu me time biar hepi karena urus anak sendirian apalagi klu sakit itu benar2 menguras energi dan emosi
alhamdulillah sekarang semua sudah berlalu, anak udah besar
emak tinggal menikmati hidup
Makasih artikelnya
menjadi ibu itu luar biasa, tetapi sayang tidak ada sekolah menjadi ibu
peluk jauh untuk semua ibu
Bahagia itu bisa bermula dari ha2 yg tampak receeehhh
dan kalo bahagia bisa ningkatin imun banget ya mba