Di tengah cuaca kota Surabaya yang akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, hampir setiap hari si kecil selalu mengajakku bermain di luar. Entah di samping rumah atau jalan-jalan ke luar rumah. Suatu ketika, aku terbangun dari tidur dengan rasa gatal yang luar biasa di bagian tangan, kaki, dan leher. Setelah aku perhatikan, timbul ruam kemerahan di area yang gatal.
Aku pikir itu hanya biang keringat biasa. Namun, ada yang tak biasa dengan ruam merah di bagian tubuhku. Ruam yang timbul diikuti dengan bentol-bentol merah kecil mirip alergi. Selama hampir 30 tahun hidup, aku tak pernah sama sekali mengalami gatal-gatal mirip alergi seperti yang aku alami sekarang. Rasa gatal yang aku alami sangat mengganggu hingga sepanjang malam aku hampir terjaga.
Aku pun segera ke dokter karena tak tahan dengan rasa gatalnya. Setelah diperiksa, dokter curiga penyebab alergi yang tiba-tiba muncul antara karena makanan, polusi, atau cuaca. Dokter menjelaskan bahwa udara Surabaya sudah tidak sehat lagi, belum lagi efek cuaca ekstrem bisa membawa banyak bakteri atau jamur di udara. Dokter hanya memberiku obat gatal alergi yang sukses membuatku mengantuk dan melupakan sejenak rasa gatal yang amat menyengat.
Entah hipotesis dokter mana yang benar, saat aku jarang keluar rumah dan jarang terpapar udara luar, alergi gatal sudah tak muncul lagi di kulitku. Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu alergi gatal itu kambuh kembali saat aku sering berada di luar rumah dan terpapar udara luar di jalanan Surabaya saat cuaca ekstrem.
Cerita tentang alergi gatal dadakan yang aku alami menunjukkan bahwa tingkat polutan yang ada di udara saat ini secara tidak langsung sudah berimbas ke perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan berdampak terhadap kesehatan manusia. Alergi sendiri merupakan penyakit kompleks hasil interaksi antara genetik dan faktor lingkungan. Perubahan iklim jadi salah satu faktor kasus alergi kulit sepertiku bisa muncul (Balato, 2014; Engebretsen, 2016; Cecchi, 2018).
Bukti lainnya bahwa polusi udara adalah akselerator perubahan iklim adalah laporan pengamatan 87 stasiun BMKG pada bulan Agustus 2022. Dalam laporan tersebut, nilai suhu udara rata-rata Indonesia menunjukkan nilai anomali positif sekitar 0,35⁰ C. Artinya rata-rata suhu udara tersebut lebih panas dari rata-rata klimatologisnya atau disebut dengan cuaca ekstrem.
Belum lagi ancaman gagal panen yang terus meningkat dari tahun ke tahun akibat cuaca buruk yang tak menentu. Petani mulai kesulitan memprediksi musim hujan dan kemarau. Hal itu berimbas pada ketersediaan pangan di Indonesia yang semakin menipis dan muncullah teror gizi buruk yang bisa merusak kualitas generasi masa depan.
Bermula dari polusi udara, berdampak pada perubahan iklim, dan berakhir pada teror gizi buruk akibat kurangnya ketersediaan pangan. Sadarkah, kita, bahwa dampak dari polusi udara terhadap perubahan iklim di Indonesia sudah sampai pada tahap yang mengerikan? Apa yang bisa kita lakukan sebagai pemuda untuk bahu-membahu hajar selimut polusi untuk selamatkan generasi masa depan?
Kondisi dan Kandungan Partikel Berbahaya dalam Polusi di Indonesia
Reaksi gatal alergi yang tiba-tiba muncul padaku adalah salah satu bukti bahwa udara di Indonesia memang benar dalam kondisi red flag, seperti laporan akhir Kualitas Udara AQI tahun 2021. Bisa jadi reaksi yang terjadi kepada orang lain lebih parah dari sekadar gatal alergi. Polusi membawa banyak materi yang berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan manusia.
Kondisi Polusi di Indonesia
Baru-baru ini kualitas udara di Indonesia mendapatkan rapor merah dengan rata-rata konsentrasi partikulat PM2,5 tertinggi yakni 34,3 μg/m3. Hasil ini berdasarkan laporan Kualitas Udara Dunia, Air Quality Index (AQI) tahun 2021.
Nilai konsentrasi PM2,5 Indonesia dalam laporan AQI tersebut sudah 6,9 kali lebih tinggi dibandingkan ambang batas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO. Bahkan, salah satu kota di Indonesia menempati urutan kedua dunia dengan nilai PM2,5 sebesar 166 μg/m3 pada tahun 2022 per bulan Juni.
Sumber: Laporan AQI 2021 |
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi nomor 17 dunia, sekaligus nomor 1 Asia Tenggara. Laporan dari AQI 2021 tersebut menjadi tanda bahwa polusi udara yang terjadi di Indonesia sudah memasuki babak mengkhawatirkan.
Nilai PM2,5 yang disebutkan dalam AQI 2021 merujuk pada polutan udara berukuran sangat kecil (2,5 mikron) yang dapat masuk ke paru-paru atau jantung. Polutan ini terbentuk dari gas buang pembangkit listrik, industri, mobil, dan pencemaran air.
Kandungan Partikel Berbahaya dalam Polusi
Beberapa kandungan partikel berbahaya yang sering ada dalam polusi berdasarkan penelitian Kampa dkk.(2008) dan Simandjuntak (2013) adalah partikulat PM10 dan PM2,5, gas NO2, gas SO2, gas CO, gas CO2, dan ozon darat. Hampir semuanya menimbulkan berbagai penyakit yang menganggu pernapasan dan juga allergen bagi tubuh manusia.
Penyebab Polusi di Indonesia
Tingginya tingkat polusi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut:
1. Pembakaran Bahan Bakar Fosil
Hasil pembakaran bahan bakar fosil dalam kehidupan sehari-hari seperti batu bara, minyak, dan bensin bisa melepaskan karbon dioksida atau karbon monoksida ke udara dalam kadar tinggi. Contoh reaksi pembakaran bensin bisa dijabarkan sebagai berikut
2C₈H₁₈ (g) + 25O₂ (g) ⇒ 16CO₂ (g) + 18H₂O (g) (pembakaran sempurna, menghasilkan CO2)
2C₈H₁₈ (g) + 17O₂ (g) ⇒ 16CO (g) + 18H₂O (g) (pembakaran tak sempurna, menghasilkan CO)
2. Emisi Industri
Sektor industri rata-rata masih menggunakan bahan bakar berupa batu bara sebagai energi. Hal tersebut membuat Industri jadi penyumbang emisi gas hasil pembakaran bahan bakar fosil, polusi partikel, Nitrogen dioksida (NO2) dan Sulfur dioksida (SO2).
3. Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pencemaran Sungai
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Ghent University, Belgium (Long, 2020) menyebutkan bahwa sungai merupakan sumber gas rumah kaca alami. Hal tersebut merupakan akibat dari degradasi dan metabolisme mikroba yang mengubah Karbon (C), Nitrogen (N) dan air (H2O) menjadi gas rumah kaca (GRK) seperti CO2, CH4, dan N2O.
4. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan akibat ulah manusia meningkatkan polutan berupa PM2,5 di dalam udara. Selain itu juga terdapat gas hasil pembakaran hutan berupa CO2. Biasanya kebakaran hutan terjadi saat musim kemarau, didukung dengan cuaca ekstrem yang sangat panas.
5. Kegiatan Pertambangan
Proses pertambangan menyebabkan debu dan bahan kimia terlepas ke udara. Hal ini membuat konsentrasi PM10 dan PM2,5 juga menjadi tinggi.
6. Timbulan Sampah
Timbulan sampah yang tidak bisa diolah bisa menghasilkan gas metana yang ternyata jauh lebih berbahaya dari gas CO2 sebagai Gas Rumah Kaca (Yvon-Durocher, 2014). Selain itu, gas metana termasuk gas yang mudah meledak saat ada percikan api.
7. Deforestasi Hutan, Lepaskan Kembali Polusi yang Terserap
Selain berbagai faktor yang telah disebutkan, deforestasi hutan juga bisa sumbangkan gas CO2 yang sudah diserap hutan ke atmosfer. HIlangnya pohon di hutan sama saja dengan memberikan gas CO2 ke udara.
Selimut Polusi, Sang Akselerator Perubahan Iklim di Indonesia
Tingkat polusi udara yang sudah tinggi di Indonesia bisa membuat zat polutan terakumulasi di udara, membentuk lapisan selimut polusi yang menyelimuti bumi. Selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Kondisi tersebut berawal dari kualitas udara yang buruk akibat polusi, hingga efek rumah kaca yang memicu percepatan proses perubahan iklim.
#SelimutPolusi Sebabkan Efek Rumah Kaca
Gas dan semua partikulat yang terakumulasi di udara akan membentuk gulungan #SelimutPolusi yang menyelimuti atmosfer bumi. Selimut ini memberikan efek seperti rumah kaca. Sinar matahari yang masuk ke bumi tidak bisa dipantulkan kembali, sehingga terserap sempurna. Akibatnya, bumi jadi lebih panas karena selimut polusi yang memberikan efek seperti berada di dalam rumah kaca.
Pemanasan Global di Depan Mata
Bumi yang menjadi lebih panas akibat selimut polusi tersebut lebih dikenal dengan istilah pemanasan global atau global warming. Dampak utama dari pemanasan global adalah menaikkan suhu bumi lebih tinggi dari yang seharusnya.
Akselerator Proses Perubahan Iklim
Ketika suhu bumi naik 1 derajat selsius saja, dampaknya sudah sangat luar biasa bagi penduduk bumi karena bisa menyebabkan cuaca ekstrem, mencairnya es di kutub, hingga munculnya berbagai penyakit baru. Hal inilah yang disebut sebagai dampak dari perubahan iklim. Bumi pun akan mengalami berbagai perubahan ekstrem yang tentunya berdampak juga bagi seluruh makhluk bumi.
Dampak Perubahan Iklim Bagi Manusia
Berbagai dampak perubahan iklim sudah banyak dirasakan oleh manusia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Berikut beberapa dampak perubahan iklim yang saat ini sedang dihadapi oleh penduduk Indonesia.
1. Cuaca Ekstrem
Cuaca ekstrem sudah mulai menyelimuti Indonesia dengan pekat. Hal itu ditandai dengan hadirnya berbagai fenomena alam langka seperti hujan es, puting beliung, dan waterspout yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia akhir-akhir ini. Tak lupa berita banjir yang sering melanda warga di daerah pesisir akibat kenaikan permukaan laut dunia yang sudah mencapai 24 cm, berdasarkan data dari University of Hawaii Sea Level Center (Caldwell, 2015).
2. Bencana Alam yang Semakin Ekstrem
Perubahan iklim mendorong bencana alam akan lebih sering terjadi. Dilansir dari Geodata Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah kasus bencana alam terus alami peningkatan dari 1619 kasus pada tahun 2011 hingga puncaknya di tahun 2021 sebanyak 5402 kasus. Pada tahun 2022 tercatat ada 2372 kasus hingga bulan September.
3. Gagal Panen
Cuaca buruk akibat perubahan iklim membuat hampir semua petani Indonesia kelabakan karena mengalami gagal panen. Dilansir dari Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM (2022), beberapa petani di Kabupaten Pangandaran mengeluhkan hasil kualitas panen padi dengan bulir padi yang sangat kecil dan tidak normal sebagai akibat sawah yang sering terendam banjir. Sementara itu menurut laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Utara, sawah seluas 230 hektar di Aceh Utara terancam gagal panen akibat banjir akibat cuaca buruk dan hujan deras 4 Oktober 2022 lalu.
4. Defisit Cadangan Pangan
Cuaca ekstrem, bencana alam, dan gagal panen yang makin sering terjadi berimbas kepada defisit cadangan pangan. Menurut Pusat Studi Perdangan Dunia UGM (2022), perubahan iklim dapat mengganggu ketersediaan pangan dan ketahanan pangan.
5. Kesehatan Manusia
Aku sendiri sudah mengalami reaksi alergi karena terpapar polusi udara di kota Surabaya dalam cuaca yang begitu ekstrem. Selain itu juga ada ancaman penyakit yang menyerang pernapasan, bahkan kematian. Reaksi tubuh orang berbeda-beda dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan yang ekstrem.
6. Teror Gizi Buruk
Salah satu puncak dampak perubahan iklim yang bisa merusak generasi masa depan adalah teror gizi buruk. Ketersediaan dan ketahanan panagan yang kurang karena cuaca ekstrem dan gagal panen bisa membuat beberapa keluarga terdampak soal gizi.
Hutan Kita Sultan, Solusi dari Tuhan untuk Melawan Polusi dan Perubahan Iklim
Aku pernah melakukan berbagai penelitian untuk menciptakan material yang bisa menyimpan karbon seperti hutan. Namun, dari seluruh hasil penelitian tentang material penangkap karbon yang ada di dunia, tak ada yang mampu menandingi kapasitas hutan dalam menyimpan karbon."
Dari semua paparan mengenai kondisi polusi di Indonesia dan dampaknya terhadap perubahan iklim, banyak manusia yang mencari solusi lewat penelitian untuk melawan polusi dan perubahan iklim. Berbagai material super atau peralatan canggih diciptakan dengan budget penelitian yang tak sedikit. Akan tetapi, banyak yang lupa kalau Tuhan sudah menyediakan solusi itu sejak pertama kali menciptakan semesta, yaitu hutan.
Penyerap Karbon Kapasitas Super
Hutan tropis yang ada di Indonesia mampu menyerap CO2 hampir 2,4 miliar ton per tahun. Artinya hutan tropis memiliki kapasitas yang sangat besar untuk menyerap karbon penyebab polusi udara. Sampai saat ini pun belum ada penelitian yang mengklaim bisa menghasilkan alat penyerap CO2 lebih besar dari kapasitas hutan.
Blue Carbon Capture
Selain hutan di daratan, hutan yang ada di sepanjang pesisir pantai juga punya kontribusi sebagai blue carbon capture atau penangkap karbon. Kapasitasnya bisa mencapai 100x kemampuan hutan daratan.
Memiliki Efek Biofisik untuk Mendinginkan Bumi
Hutan juga memiliki efek biofisik untuk membuat suhu bumi lebih dingin (Lawrence, 2022). Efek biofisik sendiri dijelaskan sebagai aspek fisik kayu, daun, dan kerapatan pohon membentuk tudung atau kanopi daratan. Hutan memiliki mekanisme sendiri lewat bagian fisiknya untuk mendinginkan suhu di sekitarnya.
Memancarkan Senyawa BVOCs untuk Efek Pendinginan
Hutan juga ternyata memancarkan senyawa organik volatil biogenik atau BVCOs untuk memberikan efek sejuk dan dingin. Senyawa BVCOs menciptakan aerosol yang bisa membentuk semacam awan untuk memberikan efek dingin (Lawrence, 2022).
Pemuda Bersatu Hajar Selimut Polusi, Bangkitkan Semangat Sumpah Pemuda
Bersatulah, hajar selimut polusi. Ingatlah, hai, wahai kau manusia. Tuhan menitipkan aku, di genggam tanganmu.”
Masih ingat dengan lagu “Dengar Alam bernyanyi”? Potongan lirik lagu Dengar Alam Bernyanyi di atas sarat makna bahwa Tuhan sebenarnya telah menitipkan hutan di tangan manusia untuk menjaga manusia dari ancaman polusi udara. Maka, pemuda Indonesia sebagai tonggak masa depan bangsa harus bersatu untuk jaga hutan agar semakin kuat hajar selimut polusi. Musuh besar yang saat ini mengancam keutuhan bangsa Indonesia lewat bencana perubahan iklim.
Bukankah seluruh pemuda Indonesia pernah bersatu di masa lalu untuk melawan penjajah dan bersumpah selalu menjaga keutuhan bangsa Indonesia? Sekarang saat yang tepat bagi #MudaMudiBumi membangkitkan kembali sumpah pemuda di masa lalu, bersatu, dan berkolaborasi untuk menjaga hutan sebagai solusi utama melawan polusi dan perubahan iklim.
Kolaborasi Kegiatan Antar Pemuda untuk Jaga Hutan
Kira-kira sebulan yang lalu aku mengikuti kegiatan kampanye #HariHutan yang diselenggarakan oleh lembaga kerelawanan dengan lembaga pemuda. Kegiatan tersebut merupakan kolaborasi antara Hutanitu.id dengan beberapa organisasi pemuda.
Kampanye Antar Pemuda dengan Gowes
Kegiatan lain yang bisa dilakukan antar pemuda adalah kampanye lewat gowes. Kegiatan bersepeda ini merupakan salah satu cara menekan timbulnya polusi udara. Sudah banyak organisasi atau lembaga yang melakukan kampanye lewat gowes, sebagai bentuk pengurangan emisi kendaraan bermotor.
Kampanye Adopsi Hutan
Para pemuda-pemudi Indonesia juga bisa bersatu #HajarSelimutPolusi dengan melakukan kampanye serentak untuk edukasi adopsi hutan. Saat menjadi relawan hutan beberapa bulan lalu, aku melakukan kampanye adopsi hutan bersama pemuda-pemuda lain secara daring.
Andai Aku Punya Kekuasaan untuk Membuat Kebijakan Lawan Polusi dan Perubahan Iklim
Andai aku punya kekuasaan untuk membuat kebijakan dalam melawan polusi dan perubahan iklim, sayangnya aku tidak punya kekuasaan itu. Namun, boleh, dong, aku berandai-andai untuk membuat kebijakan yang bisa digunakan untuk melawan polusi dan perubahan iklim.
Program Wajib Jaga Hutan Bagi Tiap Warga Negara
Kalau aku jadi pemangku kekuasaan untuk membuat kebijakan, hal pertama yang aku lakukan adalah membuat program “Wajib Jaga Hutan” sebagai bentuk pengabdian warga kepada negara. Situasi sudah sangat pelik, rasanya tak berlebihan kalau membuat program Wajib Jaga Hutan baik secara daring maupun terjun langsung ke hutan.
Memasukkan Kurikulum Jaga Hutan di Pelajaran Sekolah Mulai dari SD
Pendidikan adalah kunci generasi muda bisa memiliki karakter cinta hutan sejak dini. Seperti yang sudah dilakukan oleh suku Dayak Iban Sungai Utik yang selalu menanamkan karakter hutan itu ibu kepada generasi muda. Maka, aku akan memasukkan kurikulum Jaga Hutan pada jenjang Sekolah Dasar.
Pemberian Intensif Tinggi untuk Ranger Hutan
Program selanjutnya adalah memberikan insentif tinggi bagi para ranger hutan yang sudah mengabdikan hidupnya untuk menjaga hutan. Hal ini juga untuk meningkatkan minat masyarakat untuk ikut terjun sebagai ranger hutan.
Pengalihan Energi Fosil ke Energi Terbarukan
Sebenarnya sudah banyak pihak yang merekomendasikan Indonesia untuk beralih dari energi fosil seperti batu bara ke energi terbarukan seperti sel surya atau energi nabati. Namun, entah kenapa perwujudannya begitu sulit. Nah, kebijakan selanjutnya dariku adalah melakukan pembiayaan terhadap penelitian tentang energi terbarukan di Indonesia dan uji coba percontohan di beberapa kota Indonesia.
#MudaMudiBumi Bersatu Hajar Selimut Polusi, Kobarkan Semangat Sumpah Pemuda 1928
Cerita tentang polusi dan dampaknya terhadap perubahan iklim cukup membuat emosi di dada membara, ya! Seperti saat mendengar cerita sumpah pemuda di tahun 1928 yang hanya bisa mendengar lagu Indonesia Raya lewat biola W.R. Soepratman. Padahal, mungkin para pemuda saat itu sudah ingin menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan lantang.
Begitu juga dengan manusia yang sebenarnya sudah gatal ingin hajar selimut polusi, tapi masih terkendala dengan massa. Nah, sudah saatnya semua #MudaMudiBumi bersatu untuk hajar selimut polusi dengan cara menjaga hutan lewat caranya masing-masing. Bisa dengan cara mengadopsi pohon di hutan, kampanye jaga hutan, dengar lagu Dengar Alam Bernyanyi, hingga menanam pohon di rumah masing-masing.
Yuk! Kobarkan semangat Sumpah Pemuda #TeamUpForImpact dalam menjaga hutan #UntukmuBumiku, hajar selimut polusi, dan kurangi dampak perubahan iklim!
Referensi
- Caldwell, P. C., M. A. Merrifield, P. R. Thompson (2015), Sea level measured by tide gauges from global oceans — the Joint Archive for Sea Level holdings (NCEI Accession 0019568), Version 5.5, NOAA National Centers for Environmental Information, Dataset, doi:10.7289/V5V40S7W.
- Engebretsen, K. A., Johansen, J. D., Kezic, S., Linneberg, A., & Thyssen, J. P. (2016). The effect of environmental humidity and temperature on skin barrier function and dermatitis. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology : JEADV, 30(2), 223–249.
- Lawrence D, Coe M, Walker W, Verchot L and Vandecar K (2022) The Unseen Effects of Deforestation: Biophysical Effects on Climate. Front. For. Glob. Change 5:756115. doi: 10.3389/ffgc.2022.756115
- Lorenzo Cecchi, Gennaro D'Amato, Isabella Annesi-Maesano, External exposome and allergic respiratory and skin diseases, (2018), Journal of Allergy and Clinical Immunology 141 (3), 846-857, 2018
- Nicola Balato, Matteo Megna, Fabio Ayala, Anna Balato, Maddalena Napolitano & Cataldo Patruno, (2014), Effects of climate changes on skin diseases, Expert Review of Anti-infective Therapy, 12:2, 171-181, DOI: 10.1586/14787210.2014.875855
- Marilena Kampa, Elias Castanas, Human health effects of air pollution, Environmental Pollution, Volume 151, Issue 2, 2008, Pages 362-367, ISSN 0269-7491, https://doi.org/10.1016/j.envpol.2007.06.012
- Yvon-Durocher, Gabriel, Andrew P. Allen, David Bastviken, Ralf Conrad, Cristian Gudasz, Annick St-Pierre, Nguyen Thanh-Duc, Paul A. del Giorgio. 2014. Methane fluxes show consistent temperature dependence across microbial to ecosystem scales. Nature. DOI: 10.1038/nature13164
- https://nasional.sindonews.com/read/873939/15/8-bencana-alam-selama-januari-agustus-2022-nomor-terakhir-paksa-2326-jiwa-mengungsi-1662095365
14 komentar
Tak ada lagi yang bisa mempercepat laju perubahan iklim
Aku juga tinggal d Sby, tepatnya Rungkut.
Dan ngerasa bgt anomali cuaca belakangan ini
Ya ampuun klo pagi tuh aku bisa yg kedinginaaannn gt.
Bener2 kudu hajar selimut polusi 💪