Jepang sudah menyerah kepada sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Setelahnya, Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Lak ngono ta ceritane? Akan tetapi, gak semudah itu pihak lain mengakui kemerdekaan kita. Perjuangannya bakal lebih berat setelah ini."(Memoar Alm. Hartoyik, veteran perang 10 November 1945 dalam wawancara tanggal 7 Mei 2017)
Sekitar tahun 2017, aku pernah punya proyek menulis tentang memoar para veteran perang 10 November 1945. Bukan memoar berupa sejarah, tapi sebuah memoar perasaan. Jadi, aku ingin mengabadikan apa yang mereka rasakan saat perang dalam sebuah tulisan.
Sayangnya, proyek tersebut mangkrak sejak bapak Hartoyik yang saat itu menjabat sebagai ketua LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Surabaya telah tutup usia tanggal 29 April 2018. Banjir air mata sempat mengiringi kepergian sang veteran perang yang akhirnya benar-benar bisa beristirahat selamanya, bertemu dengan Sang Pencipta, dan tentunya bertemu kawan-kawan sesama pejuang perang yang telah menunggunya di tempat peristirahatan abadi.
Sebagian anggota proyek yang saat itu tergabung dalam suatu komunitas juga satu per satu hilang dalam kesibukan. Aku pun juga akhirnya mengundurkan diri karena alasan tertentu sejak tahun 2020.
Entah ini suatu kebetulan atau memang jalan dari Sang Kuasa, sekitar beberapa minggu yang lalu aku membersihkan memori laptop yang akhirnya menemukan kembali rekaman wawancaraku dengan alm. bapak Hartoyik. Air mataku kembali mengalir saat mendengarkan kembali rekaman wawancara itu di bagian memoar perasaan sang veteran perang.
Beliau menceritakan dengan detil bagaimana suasana perang dan apa yang dirasakan beliau. Aku sendiri hampir menangis saat melihat beliau bercerita dengan tegar, padahal ada banyak kesedihan yang tergambar dalam sorot matanya.
Tepat di bulan November ini, aku memutuskan untuk mengangkat cerita tentang memoar perasaan alm. bapak Hartoyik dalam perang 10 November 1945, jadi lebih ke sisi humanis saja. Sebagai pengingat bagi generasi muda bahwa banyak sekali yang dikorbankan oleh para veteran perang demi kemerdekaan Indonesia. Semoga tulisan ini bisa kembali menggugah jiwa nasionalisme yang mungkin sudah mulai tergerus oleh hantaman arus budaya barat.
Perang 10 November 1945, 77 Tahun Melekat dalam Kenangan Surabaya
Sebelum masuk ke cerita tentang memoar perasan veteran, ada baiknya sedikit mengingat sejarah Perang 10 November 1945 secara singkat. Malu kalau tidak tahu sejarah bangsa sendiri yang begitu luar biasa. Baca curhatan orang di Tik Tok aja betah, baca sejarah besar bangsa sendiri juga harus betah, dong, hihihi!
Awal Mula Konflik
Seperti yang sudah aku tuliskan di awal tulisan dari sudut pandang alm. Bapak Hartoyik bahwa Soekarno-Hatta memang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak semudah itu bagi tentara Sekutu untuk menerimanya. Sebenarnya tentara sekutu sudah sampai di Jakarta tanggal 15 September 1945.
Sementara itu, tentara sekutu yang dipimpin oleh W.V.Ch. Ploegman tiba di Surabaya. Mereka pun langsung menempati kamar no. 33 Hotel Yamato. Ploegman lantas mengibarkan bendera Belanda berwarna merah-putih biru di tiang sebelah utara Hotel Yamato.
Hal inilah yang mulai memicu amarah arek Suroboyo. Aku pun sudah pernah menuliskan cerita tentang perobekan bendera di hotel Yamato. Dari insiden tersebut, muncul bibit yang menyebabkan perang besar di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Pasukan gabungan tentara sekutu atau disebut NICA datang ke Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Setelah itu, perang-perang kecil pun mulai terjadi tanggal 27 Oktober 1945 antara NICA dan arek Suroboyo.
Pencetus Puncak Perang
Perang antara NICA dan arek Suroboyo pun mencapai puncaknya ketika pimpinan pasukan Inggris, Brigadir A.W.S. Mallaby, tewas di tangan arek Suroboyo. Selain itu juga ada perwira Inggris lainnya yang tewas, yaitu Brigjen Simon Loyder (Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya dkk., 2018). Mayor Jenderal Robert Mansergh yang merupakan Komandan Divisi 5 Inggris bersama pasukannya pun mulai masuk ke Surabaya dari tanggal 4-9 November 1945. Mayjen Mansergh pun mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada tanggal 9 November 1945 yang isinya:
- Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri.
- Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris.
- Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Namanya juga arek Suroboyo yang sudah terkenal bonek dari dulu, mana mau menyerah begitu saja untuk menjual kemerdekaan Indonesia? Ultimatum itu ya jelas tidak digubris. Hal inilah yang menjadi faktor puncak terjadinya Perang 10 November 1945.
Perang 10 November, Surabaya Membara!
...hanya ada satu langkah yaitu Bangkit dan Berani menghadapi apapun. Lebih baik mati dalam keadaan kemuliaan daripada hidup sebagai budak lagi. Tuhan menganugerahi kita dalam pertempuran ini.” (Pidato Gubernur Soerjo, 10 November 1945).
Mulai tanggal 10 November 1945, Surabaya tampak membara. Bom-bom dari sekutu mulai menjatuhi kota Surabaya secara membabi buta. Perang antara Sekutu dan Surabaya sebenarnya tidak berhenti pada tanggal 10 November 1945 saja, tapi terus berlangsung hingga Desember 1945.
Hanya saja tanggal 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan oleh pemerintah Indonesia saat itu melalui keputusan tanggal 31 Oktober 1946 no. 9/UM. Apakah perjuangan rakyat Surabaya sudah berakhir? Oh, tentu tidak. Masih ada perjuangan lagi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Belanda yang tetap ingin memiliki Indonesia. Mirip seperti apa yang dikatakan alm. Bapak Hartoyik bahwa perjuangan untuk mempertahankan itu jauh lebih berat.
Memoar Veteran Perang alm. Bapak Hartoyik
Gimana? Sudah tergugah hatinya dengan secuil kisah singkat Perang 10 November 1945? Kalau belum, coba di bagian ini aku tunjukkan bagaimana memoar perasaan salah satu pelaku perang 10 November 1945. Beliau adalah alm. Bapak Hartoyik.
Sebelumnya aku sudah meminta izin kepada beliau untuk menuliskan memoar perasaan saat beliau masih hidup. Semoga bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, terutama untuk generasi muda.
Pertama Kali Bertemu
Ramah, humoris, hangat, dan masih dipenuhi semangat. Begitu kesan pertamaku saat bertemu dengan beliau. Aku pertama kali bertemu alm. Bapak Hartoyik saat menghadiri salah satu acara di Tugu Pahlawan. Saat itu beliau duduk di kursi depan sebagai tamu undangan istimewa sebagai role model pahlawan zaman dahulu di depan ratusan anak SD.
Aku pun mendekati beliau, memberikan salam, dan coba untuk berdialog. Rasanya seperti ngobrol dengan kakek kandung yang semangat cerita tentang zaman perang. Aku pun izin menyimpan nomor beliau dan berjanji untuk mengunjungi beliau di markas LVRI Surabaya.
Lettu (purn.) Hartoyik, Sang Veteran Perang 10 November 1945
Sekitar tahun ‘50, Januari, saya berhadapan sama Westerling, tentara Belanda yang dari Bandung mau ke Makassar. Di sana yang nantinya ada pembunuhan masal 40000 orang. Sebelum sampai Makassar, berhadapan dengan saya, satu batalyon. Saat itu kapal mereka sandar di Tuban.” (alm. bapak Hartoyik)
Beliau adalah Lettu (purn.) Hartoyik (alm.), seorang veteran perang 10 November 1945 yang dikatakan dahsyat sampai punya julukan “Battle of Surabaya” di dunia internasional. Saat wawancara terakhir, beliau masih menjabat sebagai Ketua LVRI Surabaya.
Bisa memiliki kesempatan untuk ngobrol secara khusus dengan beliau merupakan sebuah kebanggan tersendiri. Jauh lebih bangga daripada bertemu dengan artis. Sayangnya, aku tak sempat foto bersama karena saking semangatnya beliau cerita. Apalagi ada obrolan dari hati ke hati yang menyebabkan aku lebih fokus mendengarkan dan meresapi.
Saat Mengubur Teman Sendiri dengan Air Mata Tertahan
Setelah ngobrol panjang sekali seperti obrolan antara cucu dan kakek, tiba saat aku bertanya tentang perasaan sekaligus momen tak terlupakan di sepanjang hidupnya. Jawaban beliau sungguh membuat hatiku kalo kata orang Surabaya mak ces pleng.
Antara sedih, terharu, nyesek, tapi beliau masih bisa menceritakan itu dengan tegar. Meskipun tampak sekali ada suara yang sedikit bergetar dan tatapan sendu, beliau bersedia untuk berbagi rasa itu padaku. Kira-kira seperti ini memoar perasaan alm. bapak Hartoyik
Kenangan paling membekas itu saat tanggal 10 November 1945 itu saat kita menutupi mayat teman-teman. Saat itu kita mengubur mayat pejuang secara masal di lapangan yang sekarang jadi Tugu Pahlawan. Banyak bagian tubuh dari teman saya yang tercecer. Ada yang matanya saya ciduki (read: ambil), saya kembalikan ke badannya. Ada yang kakinya hilang. Sakit sekali melihatnya, Nak.” (memoar perasaan alm. bapak Hartoyik, veteran perang 10 November 1945 dalam wawancara tanggal 7 Mei 2017)
Saat itu bapak Hartoyik hanya tersenyum dalam sorot mata yang sendu. Sementara itu, aku sudah menangis sesenggukan. Mungkin karena aku orang yang imajinatif dan mudah sekali terbawa suasana, jadinya semacam ikut hanyut dalam cerita.
Bayangkan saja bagaimana rasanya harus ikut mengubur jenazah teman sendiri yang sudah tidak utuh. Teman seperjuangan dengan cita-cita yang sama, tapi harus pergi lebih dahulu, mengorbankan darah sucinya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pesan Veteran untuk Generasi Muda
Sumber gambar: twitter Bangga Surabaya, diedit menggunakan canva |
Begitulah pesan terakhir dari alm. bapak Hartoyik sebelum menutup obrolan denganku pagi itu. Indonesia memang sudah merdeka, tapi perjuangan untuk mempertahankan sekaligus menjaga keutuhan NKRI masih terus berlanjut. Jangan mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan negara ini. Selalu ingat perjuangan para veteran perang 10 November 1945 dan juga veteran perang lainnya.
Referensi
- Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya dkk. (2018). Pasak Sejarah Indonesia Kekinian: Surabaya 10 Nopember 1945. Surabaya: Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kota Surabaya
- Wawancara dengan alm. bapak Hartoyik, 7 Mei 2017
38 komentar
Jadi tugas berat, mempertahankan kemerdekaan tantangannya jauh lebih sulit, karena harus dengan strategi yang berbeda lagi dari ketika memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagau generasi kuda kita juga berjuang mempertahankan RI dari issue dilisr yg berusaha memecah belah (gusti yeni)
Sungguh perjungan anak muda zaman sekarang masih sangat jauuuh sekali dengan taruhan nyawa para pejuang zaman dahulu. Subhanallahu...
Semoga Allaah memberatkan timbangan para pahlawan kita yang telah gugur.
Untuk meneladani sikap para pahlawan
Dan aku baru tahu kalo di tugu pahlawan itu dulunya bekas kuburan. Emg bener ya kak?
Dan sebutan Battle of Surabaya ini ampe ada film animasinya loh. Keren. Syg ga ditayangin lagi saat Hari Pahlawan. Padahal ceritanya seru.
Al Fatihah bjat alm Bapak Hartoyik. Smg engkau tenang di sisi-Nya. Semua perjuanganmu tak sia2. Dan semoga engkau mendapat surga-Nya.
Sebagai tanda terima kasih tentunya kita harus memberikan kontribusi terbaik kepada negeri ini sesuai dengan peran kita masing-masing.
Semangat!
Barakallahu fiik..
Perjuangan yang diceritakan langsung oleh para pahlawan ini membuat kita semua yang mendengarkan menjadi penuh semangat untuk bisa tidak bersantai-santai saat kemerdekaan kini telah diraih. Perjuangan masih panjang, terlebih lagi dari sisi generasi masa kini yang tugasnya mempertahankan kemerdekaan.
Semoga kita semua selalu bisa memaknai dengan cara yang positif untuk kemerdekaan RI.
terima kasih pahlawan, banyak sekali jasa yang sudah mereka berikan untuk negeri ini
Lanjutkan mbak
Apalagi bisa mendapatkan cerita langsung dari saksi sejarah
Itulah kenapa aku juga benciii banget Ama segala macam usaha yg ingin menghancurkan NKRI. Ntah apa yg ada dalam pikiran mereka, kok ya seperti nya suka kalo kondisi negara kacau balau. Dikira perang itu enak apa...
Sebagai ortu, aku selalu tekanin ke anak2, pentingnya cinta tanah air dan ga keikut2 Ama gerakan yg ingin memisahkan diri dari NKRI atau malah mengobok2 supaya negara ini kacau. Apapun yg terjadi, buatku juga NKRI itu harga mati.
Luar biasa pengorbanan demi Indonesia Merdeka
Lanjutkan proyeknya mbak. Sayang kalau terlupakan, apalagi dapet dari sumber pertama begini...