Akhir-akhir ini kepalaku dibuat pusing tujuh keliling kalau kata iklan di era 90an, ketika mengikuti perkembangan berita baik di platform TV digital atau media sosial. Mulai dari berita influencer berhijab yang statementnya makin kesini makin nyeleneh, hingga fenomena mencengangkan tentang generasi muda yang meragukan keberadaan Tuhan.
Ada rasa cemas berlebih saat memikirkan masa depan si kecil. Bisakah dia kuat menghadapi fitnah akhir zaman yang makin kesini makin luar biasa fitnahnya? Sebab, aku sendiri saja belum tentu kuat menghadapinya kalau Allah SWT tidak memberi ketetapan iman dalam hati.
Selama ini aku hanya fokus dengan tumbuh kembang anak yang bisa terukur lewat indikator. Aku lupa, ada bekal penting yang harusnya ikut ditanamkan sejak dini meskipun belum bisa diukur dan hanya bisa dilihat hasilnya saat anak sudah dewasa.
Bekal penting itu adalah iman. Sebelum mengenal agama, pondasi iman harus kuat terlebih dahulu. Kalau pondasi iman tidak kuat, akibatnya anak akan mudah terbawa arus zaman yang semakin amburadul. Sungguh, tugas orang tua di akhir zaman ini terasa sangat berat.
Urgensi Menanamkan Iman Kepada Anak Sejak Dini
Ibuku adalah sosok ibu yang sangat disiplin terkait ibadah. Beliau akan marah besar kalau anaknya tidak menjalankan ibadah, urusannya bakal panjang kali lebar kali tinggi.
Aku paham kalau ibadah seperti sholat itu wajib dalam agamaku. Namun, rasanya jadi seperti robot yang hanya melaksanakan perintah tanpa tahu keutamaan beribadah di mata Sang Pencipta.
Hal itu bisa terjadi karena iman kurang ditanamkan kepadaku sejak dini. Untung saja, iman yang kurang itu masih bisa diperkuat oleh guru-guru sejak TK hingga SD.
Hasilnya, saat duduk di bangku SMP pun aku mulai gercep melakukan ibadah tanpa harus dipaksa. Aku juga minta memakai jilbab tanpa dipaksa waktu itu. Ya, meskipun tetap saja ada kalanya iman itu lemah, sehingga ibadahku jadi kendor.
Fenomena Generasi Muda yang Meragukan Keberadaan Tuhan
Sebenarnya aku kurang update berita ini kalau saja temanku saat SMA tidak mengunggah tangkapan layar beberapa komentar di suatu media sosial. Isinya tentang sekumpulan generasi muda yang mempertanyakan, bahkan meragukan keberadaan Tuhan.
Sumber: instagram @sakeenafamily |
Aku pun ikut ternganga dengan balasan komentar lainnya yang intinya mengarah untuk mengajak mereka masuk ke paham atheis. Mungkin anak-anak ini fitrah imannya kurang tertancap kuat dan tidak ada kontrol orang tua, sehingga logikanya mudah dibelokkan lewat pengaruh sosial media. Ngeri, nggak, sih?
Sebenarnya dari zaman aku kuliah dulu sudah ada kelompok-kelompok yang suka memakai logika untuk mempertanyakan adanya tuhan. Kerjaan mereka mengajak debat para mahasiswa baru yang masih polos terkait pertanyaan-pertanyaan yang meragukan keberadaan Tuhan.
Akan tetapi, aku juga tidak tahu tujuan utama kelompok itu apa. Dulu senior-senior kampus semasa pengkaderan selalu menekankan untuk tidak boleh sembarangan mengikuti grup atau kelompok asing.
"Kalau ada oknum yang mengundang kalian ke acara selain pengkaderan atau acara resmi dari himpunan jurusan, fakultas, atau BEM, tolak segera! Kalau masih diteror, lapor ke kita, ya!" Kata para seniorku kala itu, berusaha menjaga para maba agar tidak melenceng.
Di zamanku kegiatan kelompok "aneh" tersebut masih berjalan sembunyi-sembunyi. Kalau zaman sekarang sepertinya makin menjadi-jadi dan terang-terangan, ya. Makin pusing pala berbi, nih!
Iman Sebelum Belajar Agama dan Al-Qur'an
Dari ilustrasi cerita kebandelanku di zaman kecil dan fenomena generasi muda yang meragukan keberadaan Tuhan itulah, urgensi iman wajib segera ditanamkan ke anak sedini mungkin. Sebab, iman ini harusnya dasar sebelum belajar agama dan Al-Qur'an.
Sudah ada haditsnya juga dari baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata," Kami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika kami masih sangat muda. Kami mempelajari Iman sebelum mempelajari Al-qur'an, kemudian kami mempelajari Al-qur'an hingga bertambahlah keimanan kami karenanya"
Kutipan hadits tersebut aku dapat dari kelas Menumbuhkan Fitrah Iman yang diadakan oleh akun instagram @quranbasedplay. Pada intinya iman itu ada di dalam hati, tidak terukur secara pasti, tapi bisa dirasakan tanda-tandanya.
Caraku Menanamkan Iman ke Anak Usia 2-3 Tahun
Sebenarnya, menanamkan iman ke anak sudah bisa dimulai sejak di dalam kandungan. Namun, aku hanya akan cerita caraku menanamkan iman ke si kecil saat usianya antara 2-3 tahun. Sebab, aku baru mempelajari fitrah iman saat si kecil berusia 2 tahun.
InsyaAllah di lain kesempatan akan aku bahas juga cara menanamkan fitrah iman sejak di dalam kandungan di blog satunya Jurnal Bermain karena sifatnya lebih umum. Kalau di blog ini khusus apa yang sudah aku lakukan berdasarkan pengalaman saja.
1. Berdoa Meminta Kelembutan Hati
Seperti yang sudah disebutkan bahwa Iman letaknya ada di dalam hati, sedangkan Allah SWT adalah Sang Pemilik Sejati dari hati manusia. Berdoa kepada Allah SWT adalah langkah pertama untuk bisa melembutkan hati anak agar iman mudah ditanam.
2. Mendekatkan Anak ke Alam
Alam adalah salah satu bukti konkrit ciptaan Allah SWT. Keindahan alam yang bisa dinikmati oleh mata, bisa dimanfaatkan untuk menanamkan fitrah iman ke dalam hati anak.
Saat anak takjub dengan berbagai makhluk ciptaan Allah SWT seperti hewan dan tumbuhan, sisipkan sugesti sederhana dengan selalu mengatakan:
“MasyaAllah, bagus, ya, ciptaan Allah SWT”
“Ya Allah, ini hewan/tumbuhan apa, ya?”
“Bagus, ya, Nak? Ini semua Allah SWT yang menciptakan.”
Jika anak belum merespon atau tidak mengerti, tidak apa-apa. Teruskan sugesti tersebut secara teratur membentuk kebiasaan. InsyaAllah suatu ketika anak akan meniru apa yang kita lakukan. Prosesnya tidak instan, tetapi perlahan, dan akan mengakar di hati.
Sebagai contoh pengalaman dengan si kecil, aku selalu berusaha menyisipkan kata “ciptaan Allah” saat anak berinteraksi dengan alam. Misalnya ketika si kecil sibuk memerhatikan ulat yang sedang berjalan, aku akan berkata, “wah, ada ulat lucu jalan. Itu hewan ciptaan Allah”.
Tiap hari selalu aku ulang terus sugesti tersebut hingga jadi kebiasaan. Suatu ketika tanpa aku suruh, si kecil ikut menyebut nama Allah SWT saat melihat hewan yang belum pernah ia lihat.
“Hiii, bunda, bunda, apa ini, apa itu? ehwan iptaan Allah (hewan ciptaan Allah)?” celoteh si kecil saat melihat kumbang koksi di tanaman depan rumah.
3. Menciptakan Lingkungan Islami
Anak di usia golden age, memiliki kecepatan untuk menyerap informasi seperti spons."
Anak usia dini merupakan peniru ulung yang akan merekam kebiasaan di sekitarnya. Di usia golden age sekitar 0-5 tahun adalah saat yang tepat menanamkan iman kepada anak lewat kebiasaan orang tua.
Bisa dimulai dari kebiasaan sederhana seperti mengucapkan salam, istighfar, atau melibatkan anak ketika orang tua beribadah. Bisa juga dengan mengajari anak bersholawat kepada baginda Nabi Muhammad SAW, disamping lagu anak.
4. Metode Islamic Montessori
Selama ini aku menggunakan filosofi metode islamic Montessori dalam merancang kurikulum pendidikan anak. Bedanya dengan Montessori biasa adalah adanya tambahan aspek ruang pelajaran islam atau islamic studies.
Dalam aspek islamic studies, anak diajak mengenal Allah SWT lewat permainan atau kebiasaan. Misalnya saja mengenal hewan yang disebutkan dalam Al-Qur'an lewat permainan dari daur ulang berupa puzzle hewan.
Sebelum bermain, terapkan kebiasaan islami seperti berdoa, mengucap basmallah, dan memberikan kalimat sugesti seperti "hewan ciptaan Allah SWT". Setelah selesai juga biasakan berdoa dan mengucap hamdallah.
5. Qur’an Based Play
Metode permainan berbasis Al-Qur'an ini baru saja aku dapat setelah mengikuti beberapa kegiatan yang diadakan akun instagram @quranbasedplay. Pada dasarnya rangkaian kegiatannya berupa pemilihan ayat Al-Qur'an sesuai kebutuhan usia anak, kemudian membuat permainan yang mencerminkan terjemahan ayat.
"Eits, tunggu sebentar. Katanya iman dulu baru Al-Qur'an. Nah, ini, kok malah Al-Qur'an dulu?"
Inti dari Qur'an Based Play ini adalah bermain dengan batasan Al-Qur'an. Jadi, tidak mengajarkan anak arti atau terjemahan dari Al-Qur'an.
Fitrah anak usia dini hanya bermain dan bermain. Sebagai orang tua kita harus memfasilitasi kebutuhan anak untuk bermain, tapi tetap dengan batasan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Pemilihan ayat harus disesuaikan dengan usia dan kesiapan anak. Maksudnya, tidak mungkin tiba-tiba kita memilih ayat tentang hari kiamat ke anak usia 2 tahun, kan. Pilih ayat yang sekiranya ringan dan bisa dibuat bookish play. Misalnya ayat tentang lebah dan madu (QS An Nahl: 69).
Setelah itu lakukan read aloud terhadap ayat tersebut beserta artinya. Anak tidak harus paham atau mengerti, yang penting sugestikan ayat tersebut kepada anak dalam bentuk membaca nyaring.
Permainan berbasis surah An Nahl 69 |
Jangan lupa buat permainan yang merepresentasikan ayat tersebut atau istilahnya bookish play. Misal membuat permainan lebah mencari madu.
Catatan Penting Saat Menanamkan Iman Kepada Anak
Ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan orang tua saat menanamkan iman kepada anak. Jangan sampai niat baik kita malah merugikan anak karena salah kaprah.
Tidak Bisa Diukur, Tapi Hasilnya Bisa Dilihat Nanti.
Saat menanamkan iman, kita nggak bisa mengukur hasilnya atau memantau hasilnya secara instan. Sudah disebutkan di atas juga bahwa iman adanya di dalam hati.
Kita baru bisa melihat hasilnya bertahun-tahun kemudian saat anak dewasa dengan ciri-ciri atau indikasi sebagai berikut:
- Anak mau sholat atau beribadah tanpa dipaksa
- Anak mau membaca Al-Qur'an atas keinginannya sendiri
- Suka mengikuti kajian
- Tidak mudah terpengaruh provokasi yang meragukan keberadaan Tuhan
Disesuaikan dengan Fitrah dan Usia Anak
Menanamkan iman kepada anak tentunya harus disesuaikan dengan usia anak. Kalau usia 0-5 tahun fitrah anak masih bermain-main dengan hati yang riang.
Kita bisa menyisipkan iman saat anak bermain atau melakukan kegiatan yang disukainya. Misalnya anak suka sekali bersepeda atau bermain bola.
Ajarkan untuk selalu mengucap basmallah saat hendak bermain. Selalu sugestikan kalimat positif seperti, "sebelum main baca bismillah dulu biar dilindungi Allah, ya, Nak."
Jangan Memaksa Anak
Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah jangan memaksa anak saat anak tidak mau. Contohnya ketika anak tidak mau mengucap salam, tidak mau mengucap basmallah, atau menolak bermain.
Memaksa anak hanya akan membuatnya ilfeel dan bisa trauma. Jika anak tidak mau, coba sugestikan kalimat positif seperti:
"ya sudah, nggak apa-apa kalau nggak mau, Allah masih tetap sayang adek, kok. Nanti coba lagi, ya."
Dunia Sudah Tua, Kuatkan Pondasi Iman Anak Sebagai Bekal Dunia dan Akhirat
Iman sebelum Al-Qur'an. Adab sebelum Ilmu."
Iman, sebuah kata sederhana yang maknanya berikatan secara dalam dengan agama dan Al-Qur'an. Nyatanya masih banyak yang belum paham, termasuk aku tentang pentingnya menanamkan iman kepada anak sejak dini.
Memberikan pendidikan duniawi memang penting untuk masa depan anak. Namun, tetap harus dilandasi iman yang kuat agar tak mudah terbawa arus zaman atau pikiran orang lain yang bisa jadi tak sesuai dengan koridor Al Qur'an.
Kalau bukan kita yang mendidik anak, siapa lagi? Guru juga seorang pendidik, tapi hanya orang tua yang harusnya mengerti betul bagaimana keinginan dan karakteristik anak.
Referensi
- Resume Kelas Cinta Qur'an-Qur'an Based Play oleh Karin Ummu Alfath
- Resume Kelas Pengenalan Metode Islamic Montessori oleh Zahra Zahira
1 komentar